Bab 11

6.6K 1K 48
                                    

Mumpung senggang, Kangmas aku update ya

Happy Reading all,


Semua memang tidak bisa berjalan seperti keinginan hati kita. Adakalanya Tuhan membelokkan sedikit jalan itu, agar kita melihat keindahan di sisi yang lain. Demikian juga yang harus dialami Utari.

Gadis itu dapat menyimpulkan, jika Bagus Pandhita adalah pria paling berisik di atas muka bumi. Sesibuk apapun pria itu dengan jadwal harian, di manapun pria itu berada, dia tidak pernah absen mengirimkan pesan di ponsel gadis itu.

Jika Utari semula jengah dan tidak nyaman dengan perlakuan Bagus, maka kini dia mulai merasakan sebaliknya. Sehari saja pria itu tidak menghubungi, maka dunianya terasa begitu sepi. Dia akan bolak balik memeriksa ponsel, siapa tahu ada pesan yang masuk dari Bagus.

Utari juga memenuhi janji, dengan tidak memakai cincin pertunangannya. Lagipula mereka memang bukan pasangan romantis, yang akan berbangga hati jika tampil di hadapan umum. Utari sama sekali tidak mau hubungan mereka terendus siapapun. Utari masih berusaha untuk menerima hubungan yang dipaksakan itu.

Bagus memang tidak marah, namun diamnya pria itu berarti banyak hal. Utari merasa sedikit was-was dengan sikap tenang pria itu. Bahkan entah hubungan seperti apa yang terjalin di antara mereka. Karena meski sudah bertunangan, namun tidak sekalipun Bagus berkunjung ke rumah.

Sudah tiga minggu semenjak Bagus memberikan cincin, namun sekarang mereka malah sangat jarang bertemu. Bagus seperti ingin menghindar. Jika dahulu pria itu rajin menyambangi setiap bagian, maka kantor Utari adalah pengecualian. Bagus tidak pernah menampakkan batang hidungnya sejak tiga minggu terakhir. Bahkan Utari mengetahui pria itu sedang pergi ke Bali, juga dari obrolan beberapa staf.

Bagus Pandhita tidak pernah membicarakan masalah jadwal hariannya. Utari juga tidak ingin mengetahui kesibukan pria itu. Meski mereka tetap saling mengirim pesan, tidak sekalipun hal itu berhubungan dengan pekerjaan. Mereka biasanya hanya bertegur dengan hal yang remeh temeh.

"Anterin kue ini ke rumahnya Mas Bagus, ya. Ini kan sudah tiga minggu, masa calon mantu belum pernah mengunjungi rumah calon mertua." Rika menyodorkan keranjang berisi aneka macam kue basah yang sudah dihias.

"Tapi, Ma. Riri kan malu, masa belum apa-apa sudah harus kunjung?" elak Utari yang baru saja menghabiskan potongan terakhir apel di piring.

"Tidak usah banyak alasan. Cepat mandi dan ganti baju!"

"Sendirian?"

"Memangnya kamu pikir mau pergi ke arisan, harus sama Mama segala? Cepetan sebelum kesorean!"

"Iya, Ma." sahut Utari patuh. Tidak ada gunanya berdebat dengan mama. Hidupnya sudah tenang karena tidak direcoki lagi dengan masalah pernikahan. Bahkan Rika seperti tidak peduli mengenai latar belakang, bagaimana kedua orang itu bisa bersama.

Setelah mandi cepat dan berpakaian rapi, Utari segera melaksanakan perintah sang Mama. Rika mengantar Utari hingga ke gerbang rumah, menatap motor matic sang putri yang kian jauh.

"Mama melakukan ini juga demi kebaikan kamu, sayang. Bagus Pandhita adalah pria terbaik untukmu." Rika mengusap air bening yang mulai mengalir membanjiri pipinya.

Sementara Utari terus melajukan motor menuju sisi lain kota. Dia memang belum pernah mengunjungi kediaman Rekshananta, namun semua orang mengetahui letak rumah itu. Dia hanya pernah bertemu dengan ibu Naira, ibunya Bagus ketika acara pertunangan. Setelah itu, Utari tidak pernah berjumpa lagi dengan siapapun anggota keluarga itu.

Namun wanita itu kerap menghubunginya. Naira seperti ingin mengakrabkan diri dengan sang calon menantu. Mereka sering berbincang mengenai banyak topik, hingga kedekatan itu benar-benar terjalin. Beberapa kali Naira ingin Utari datang berkunjung, tapi gadis itu memiliki seribu alasan untuk menolak.

Tapi kali ini tidak ada alasan lagi.

Saat Utari tiba, gerbang rumah bertembok keliling tinggi itu sudah dibuka. Utari melajukan motornya pelan memasuki area halaman luas yang tampak sejuk dengan berbagai tanaman buah. Ada sebuah Gazebo di bawah sebuah pohon sawo besar, dengan pot-pot berisi bunga aneka jenis di pinggir.

Utari dibuat takjub dengan sebuah rumah joglo besar di depannya. Dia tidak pernah menyangka, jika rumah keluarga Rekshananta ternyata masih begitu tradisional. Naira tampak berdiri di pendopo luas dengan memakai kebaya hitam, bersama seorang wanita setengah baya dengan pakaian sama.

Utari menatap pakaiannya sendiri, setelah memarkir motornya di salah satu sudut halaman. Dia hanya memakai kemeja sederhana yang dipadukan dengan rok panjang model mengembang dengan motif bunga-bunga. Bahkan rambut panjangnyapun hanya diikat sekenanya.

"Akhirnya cah ayu datang berkunjung juga. Maaf ya, kalau kondisi rumah kami seperti ini." sambut Naira hangat setelah membalas salam dan Utari mencium tangannya.

"Maaf ya, Bu. Saya baru bisa berkunjung sekarang. Ini kebetulan Mama menyuruh saya untuk mengantarkan kue untuk Ibu." kata Utari masih malu-malu.

"Jadi kalau Jeng Rika tidak nyuruh kamu nganter kue, kamu nggak akan datang ke sini?" Naira menyerahkan keranjang berisi kue itu kepada wanita yang bersamanya, "Mbok, tolong suruh Minah siapin teh untuk kita ya."

Wanita itu mengangguk sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Sementara Utari berdiri dengan perasaan tidak enak, "Maksud saya bukan begitu, Bu. Terus terang saya masih agak tidak enak."

Naira meraih lengan Utari, kemudian menggandengnya ke sebuah kursi risban yang diletakkan di tengah pendopo, "Sebentar lagi kamu akan menjadi menantu keluarga ini, jadi tidak ada alasan untuk kamu merasa tidak enak."

Utari membiarkan jemarinya digenggam oleh Naira. Untung saja tadi dia ingat untuk memakai cincin pemberian Bagus. Meski mereka sudah akrab di dalam telepon, namun bertemu langsung seperti itu sungguh terasa berbeda bagi Utari.

"Kalau kamu ada masalah apapun, kamu boleh berbicara pada Ibu. Mungkin keputusan Bagus memang terlalu cepat, tapi kamu harus memakluminya. Usia Bagus tidak muda lagi, dan dia juga harus secepatnya mengisi posisi pendamping selama dia menjabat."

"Saya sangat mengerti, Bu." entah mengapa mendengar ucapan Naira yang lembut, membuat hati Utari menjadi tenang. Meski sudah berumur, namun gurat kecantikan masih tergambar jelas di wajah Naira. Selain itu, wanita itu juga terlihat sangat tulus dan tidak menganggap rendah dirinya yang hanya dari keluarga biasa.

"Dulu Ibu justru lebih muda dari kamu, waktu bertemu dengan almarhum Ayah Bagus."

"Benarkah?"

Naira menggenggam tangan Utari dengan hangat, ketika teh dan aneka kue kecil di hidangkan di atas meja, "Ibu masih kuliah semester dua ketika bertemu dengan Kangmas Bayu."

Mata Naira menerawang seperti teringat akan masa lalu, "Ketika itu Ibu ikut menjelajah hutan, karena fakultas mengadakan penelitian beberapa hari di sana. Perkemahan kami tidak jauh letaknya dengan perkemahan itu. Waktu itu Ibu sangat bersemangat, hingga tanpa sadar keluar dari jalur yang biasa. Ibu tersesat di hutan, namun menemukan taman indah itu. Kangmas Bayu membolehkanku untuk tinggal beberapa lama, dan berjanji akan mengantarkanku ke rombongan."

"Apa Ibu langsung dilamar juga?"

Naira tertawa kecil sambil menggeleng, "Tidak. Karena saat itu Kangmas masih kelas 3 SMA. Beliau lebih muda dariku. Setelah Kangmas lulus kuliah, barulah beliau melamarku."

"Kami memiliki banyak waktu untuk saling mengenal dan menjajagi. Sayang, anakku tidak seberuntung Ayahnya. Dia membutuhkan waktu yang lebih lama, untuk menunggumu datang."

"Tapi apa selama ini Pak Bagus tidak memiliki kekasih?" selidik Utari yang sebenarnya memang sangat penasaran.

"Pak? Mulai saat ini, kamu harus membiasakan diri dengan menyebutnya Kangmas." tekan Naira.

"K—kangmas?"



Vote dan koment dong, biar updatenya makin sering hehee



Rahasia Cinta ( SUDAH  TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang