Bab 14

7K 967 34
                                    

Kangmas kok kayak tukang PHP gitu ya, semoga Utari bisa bertahan deh

Dukungannya doooong


"Kamu itu kenapa, Ri? Pulang-pulang kok, mukanya jutek begitu?" Rika menatap heran pada Utari yang masih cemberut sedari memasuki rumah.

"Nggak kok, Ma. Riri mau jalan lagi ya, mau beli sabun mandi sama bedak, nih." Utari segera berlari ke dalam kamar, meninggalkan Rika yang masih diluputi tanda tanya.

Sementara Utari sudah sibuk mencopot semua pakaian, lalu menggantinya dengan kaos ketat dan celana jeans panjang. Gadis itu juga mengikat tinggi-tinggi rambutnya, dan memperbaiki riasan di wajahnya. Setelahnya, dia memeriksa isi dompet, lalu menyambar tas selempang kecil yang tersampir di belakang pintu.

"Ma, Riri pergi dulu ya." Utari menyalami mamanya cepat, kemudian seperti setengah melayang menuju halaman rumah.

"Ri, ganti baju kamu! Kamu nggak boleh pakai baju seperti itu!" teriak Rika yang tentu saja tidak digubris oleh Utari. Begitu sudah mengenakan helm, gadis itu segera melarikan motornya dengan kekuatan penuh.

Sebenarnya apa arti diriku bagi dia?

Berkali-kali Utari menarik napas panjang. Dadanya terasa demikian sesak, seperti ribuan ton batu bersarang di sana. Ulu hatinya terasa perih, seperti tersayat sembilu. Seharusnya dia tidak bersikap cengeng, namun diundang untuk diabaikan rasanya terlalu menyakitkan.

Bagus Pandhita sendiri yang menyuruhnya datang pada hari Minggu. Pria itu sendiri yang ingin melihatnya bermain gamelan. Meski harus mengorbankan waktu tidurnya yang berharga, Utari menuruti demi masa depan mereka. Dia rela bangun pagi, dan mengitari Alun-alun kota.

Pria itu datang, namun ada Windri dan beberapa orang lain mengikuti. Bagus Pandhita menyapanya, dan mengajak Utari untuk ikut bersama ke rumah. Tapi Utari menyesali keputusannya itu. Terlebih di sana juga ada Puspa Ayu, yang menyambut kedatangan Bagus dengan ceria.

Yang lebih menyakitkan, Bagus Pandhita tampak asyik berbicara dengan Windri. Mereka bersikap seolah yang lain hanya menumpang di dunia ini. Bahkan para penabuh gamelan itu seakan mengerti dengan keadaan itu, kecuali Puspa Ayu tentunya. Wanita itu jelas tidak menyukai kedekatan Bagus Pandhita dan Windri Asih.

Utari memasuki area sebuah Mall besar di tengah kota, satu-satunya Mall milik keluarga Rekshananta. Utari tidak peduli, karena tidak mungkin sang pemilik berada di sana. Dia langsung masuk ke dalam lift yang terbuka, menuju lantai paling atas.

Dia ingin menonton film. Dengan begitu, mungkin pikiran kacaunya akan sedikit terobati. Gadis itu menyandarkan tubuh di dinding, menunggu benda itu membawanya. Begitu pintu sudah hampir tertutup, tiba-tiba sepasang tangan besar menahannya.

***

Utari hampir terjatuh ke lantai demi melihat penampakkan tidak terduga di depannya. Dia bahkan sampai melotot, ketika pria itu tersenyum manis kepadanya. Utari ingin sekali melempar sandal yang dipakai, ke wajah orang itu. Dia tidak percaya, jika dunia ini ternyata demikian sempit.

Utari melengos, tidak mau bersitatap dengan Bagus Pandhita. Entah darimana pria itu tiba-tiba muncul, tapi Utari curiga jika sang Bupati menguntitnya dari dia berangkat tadi. Sampai lift itu tertutup, hanya mereka berdua penumpang di sana.

""Sampai kapan kamu mau mendiamkan saya?" tegur Bagus Pandhita ketika suasana sepi di antara mereka kian mencekik.

Utari masih tidak menyahut, bahkan menatap pria itu saja dia tidak sudi. Dia masih kesal, dan bersumpah tidak akan berbicara apapun pada pria itu. Tapi apa bisa? Sementara wangi harum pria itu saja sudah seperti menghipnotisnya.

"Kamu marah sama saya?" imbuh Bagus Pandhita yang masih diacuhkan oleh Utari.

Pria itu menyenggol lengan Utari dengan lengannya, namun Utari masih tidak memedulikan. Bahkan Utari membalasnya dengan lirikan sebal luar biasa. Tapi bukan Bagus Pandhita namanya, jika dia mudah menyerah begitu saja.

Tanpa peringatan, pria itu langsung memepet tubuh Utari hingga menempel di dinding lift. Sebelum dapat melawan, kedua tangan gadis itu sudah ditarik ke atas kepala. Utari berusaha memberontak melepaskan diri, namun kuncian tangan Bagus Pandhita sangatlah kuat.

"Lepaskan aku!" Utari berteriak dan mencoba melepaskan diri dari kungkungan tubuh liat pria itu.

"Beri aku satu alasan kenapa aku harus melakukannya." Bagus Pandhita mendekatkan wajahnya, hingga jarak hidung mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mata kelam pria itu mengunci Utari, hingga gadis itu berhenti memberontak.

Utari membalas tatapan Bagus dengan gugup. Pipinya sudah semerah udang goreng, sementara jantungnya berdentam semakin keras. Utari mulai panik, dia takut Bagus mendengarkan suara debaran jantungnya.

"A—anda tidak boleh melakukan hal tidak sopan seperti ini kepadaku! Apa anda tidak takut pada reputasi anda yang akan hancur?" cicit Utari dengan napas mulai tersengal. Dia merutuk dalam hati, karena tiba-tiba saja tubuhnya seperti demam tinggi.

Aroma maskulin pria itu sangat menggoda. Tubuh jangkung dan liat yang menempel pada tubuhnya, membuat darah Utari seperti memompa lebih cepat. Bagus Pandhita memang sangat pandai mengintimidasi, dan sekarang Utari mengalami sendiri.

"Dengan pakaian seperti ini, apa kamu ingin menggodaku?" Bagus bertanya dengan nada sensual. Bahkan Utari takkan tahu, jika pria itu mempertaruhkan segalanya untuk gadis ini.

"Aku tidak menyuruh anda untuk mengikutiku! Lagipula, memangnya apa arti diriku ini bagi anda?" nada terluka itu membuat dada Bagus Pandhita seperti tersayat.

Pria itu melepaskan jeratan kedua tangan Utari. Dia kemudian meraih tubuh mungil Utari ke dalam dekapan pelukan hangatnya. Untuk sesaat, Utari memberontak dan berusaha mendorong tubuh Bagus Pandhita menjauh. Namun tenaga Utari kalah jauh dengan Bagus Pandhita yang lebih kuat dan bertubuh sangat sehat.

Wajah Utari menempel di dada hangat Bagus, hingga merasakan irama degup jantung pria itu yang menenangkan. Utari memejamkan kedua mata, ketika tangan Bagus mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Utari tidak menangis, namun kekesalan yang semula menggumpal demikian besar, perlahan surut oleh perlakuan lembut Bagus kepada dirinya.

"Maafkan aku, jika sudah menyakiti hatimu. Apapun yang sudah kulakukan, aku tidak bermaksud untuk membuatmu sedih seperti ini." Bagus Pandhita mengeratkan pelukannya. Ada rasa damai menelusup hingga ke dasar hati, ketika kehangatan tubuh mungil itu menyatu dengan hangat tubuhnya.

Utari tidak menyahut apapun. Dia terlalu malu dengan kedekatan mereka seperti itu. Namun dia juga tidak semudah itu memaafkan kesalahan Bagus karena sudah mengabaikan dirinya. Meski pelukan pria itu terasa sangat nyaman, Utari tidak mau hatinya meleleh hingga akhirnya menyerah begitu mudah.

"Mudah sekali mengucapkan kata maaf, seolah setiap wanita akan segera luluh bila mendengarnya! Aku tidak butuh permintaan maaf, dan jauhkan tubuh jelekmu dariku!"

Rahasia Cinta ( SUDAH  TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang