Bab 19

7.2K 961 24
                                    

Masih sibuk banget nih, tapi mumpung masih fresh, update deh

Sekedar ngingetin, ini cerita hanya sekedar memenuhi imajinasi liar saya. Jika tidak sesuai dengan ekspektasi kamyu-kamyu semuaaaa, maaaaaaf banget yah.

Nikmati saja, kalo masih penasaran boleh lanjut, yah gitu adanya doang heheeee

Terima kasih untuk semua dukungan dari kalian. Berkat kalian semua aku jadi semangat lanjut lagi nih heheheeee walau mungkin makin gaje



"Memikirkan mengenai malam pertama kita?" Utari tersentak dari lamunan, ketika sebuah tangan menyentuh bahunya yang telanjang.

Pria itu menyeret sebuah kursi, kemudian duduk di samping Utari. Bagus Pandhita terlihat begitu gagah dan tampan dalam balutan busana basahan berwarna hijau lumut. Utari memperhatikan ketika pria itu melepaskan mahkota yang dikenakan, kemudian meletakkannya di atas meja rias.

"Kamu ingin aku membantumu melepaskan semua hiasan itu?" Bagus Pandhita menatap hiasan rumit di kepala Utari.

"Ti—tidak, aku bisa melepaskannya sendiri." Utari mengalihkan tatapan matanya yang semula menyusuri tubuh setengah telanjang Bagus Pandhita. Pria itu memang tidak memiliki tubuh seperti altet, namun semua terasa pas saja di mata.

"Atau kamu ingin membantuku?" Bagus mengedip nakal pada Utari yang sudah terlihat salah tingkah. Pria itu bukannya tidak tahu, jika Utari memperhatikannya dari tadi. Entah mengapa, dia sangat menikmati tatapan Utari ke tubuhnya.

"Mas tidak lelah?" Utari mulai mencabut satu demi satu kembang goyang di atas kepalanya. Dia agak kesulitan ketika melepas sanggulnya, hingga beberapa bunga melati berhamburan ke atas lantai.

Tanpa banyak bicara, Bagus beranjak dari duduknya. Tanpa protes, Utari menerima bantuan dari suaminya. Suami. Berulang kali, Utari mencoba menanamkan pengertian baru itu ke dalam otaknya. Semua seperti mimpi saja, namun pesta meriah itu memang miliknya.

Semua orang sudah mengetahui, jika mereka berdua sudah menikah. Resepsi mereka baru berakhir beberapa menit yang lalu. Sudah hampir tengah malam, Utari bahkan sudah menguap entah berapa ratus kali di atas pelaminan.

Ketika masuk ke dalam kamar pengantin, dia seperti sudah tidak mampu berdiri lagi. Melihat kasur lebar bertabur bunga mawar merah itu, Utari sangat ingin merebahkan tubuhnya. Tapi dandanannya tidak memungkinkan.

"Para perias itu sepertinya berniat sekali untuk menyiksamu." Bagus Pandhita akhirnya dapat melepaskan gelungan rambut Utari hingga terurai di belakang punggungnya.

"Terima kasih." Utari merasa kepalanya ringan sekali. Seperti dia baru saja membuang separuh isinya, "sebaiknya aku melepaskan pakaian ini di kamar mandi, sekalian aku harus bersih-bersih juga."

"Kamu tidak perlu melakukan itu, aku akan membantumu. Percayalah, aku tidak akan memaksamu untuk sesuatu yang belum ingin kamu lakukan." Bagus Pandhita menahan kedua bahu Utari, ketika gadis itu hendak beranjak meninggalkan kursi.

Utari menatap kedua mata Bagus yang juga tengah memperhatikan dari kaca rias. Pria itu tersenyum menenangkan. Bola mata hitamnya tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Utari tidak takut, hanya saja dia masih jengah dengan status mereka yang kini sudah berubah.

"Aku—aku hanya takut tidak bisa melakukan amanat ini." Utari menundukkan pandangan. Jemarinya memainkan ujung kain jarik yang dikenakan.

"Maafkan aku, jika sudah terlalu memaksamu." Bagus duduk di tepi meja, dia meraih kedua tangan Utari dan menggenggamnya dengan erat.

"Tidak. Bukan seperti itu. Hanya saja aku masih tidak percaya, jika takdir memilih diriku untuk menemani kehidupan Mas."

"Aku sendiri tidak terlalu percaya diri, karena istriku masih begitu muda. Aku sudah berumur, dan mungkin tidak bisa melakukan hal romantis seperti pria seusiamu kepada pasangannya."

"Itu bukan seperti diri, Mas Bagus."

"Oh, ya? Memangnya seperti apa diriku ini di matamu?"

Seperti apa? Berpikir Utari!


***


Utari menatap pertautan tangan mereka, yang entah mengapa justru menenangkan hatinya. Genggaman erat jemari Bagus, terasa begitu hangat dan seolah membuang semua kekhawatiran dalam diri Utari. Pria itu tidak membuat Utari gelisah, sebaliknya dia merasa dirinya begitu terlindungi. Entah karena apa.

"Mas lebih dari orang yang baik. Mas memiliki pribadi yang menyenangkan, hingga rasanya sangat sulit menolak kehadiran Mas di manapun."

"Berarti aku dapat memiliki harapan untuk hubungan kita di masa depan?"

"Kata orang, ucapanmu adalah doamu."

"Kalau begitu aku akan berkata jika kita akan bisa saling mencintai hingga maut memisahkan kelak."

"Mas Bagus!"

Pria itu tertawa, ketika Utari melepaskan genggaman tangannya. Gadis itu berdiri, dan mulai melepaskan belitan setagen di pinggangnya. Begitu hanya tinggal kain kemben dan bawahan, Utari segera menyambar handuk di lengan kursi dan melangkah cepat masuk ke kamar mandi.

Sementara Bagus Pandhita juga mulai melepaskan seluruh kain yang membebat tubuhnya. Dia mengambil kimono handuk dari dalam lemari, kemudian duduk menonton televisi sambil menunggu Utari selesai mandi air hangat.

Tubuhnya sudah sangat lelah, namun dia tidak dapat tidur jika belum mandi. Namun dia menyerah juga, ketika rasa kantuk menyerang dengan dahsyat. Utari yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, menemukan pria itu terbaring di atas sofa.

Utari merasa sedikit bersalah. Dia tahu Bagus menunggu giliran membersihkan tubuh. Dia sudah diberi tahu oleh ibu mertuanya, jika pria itu tidak dapat tidur jika belum mandi. Dengan langkah pelan, Utari mendekat ke arah Bagus Pandhita.

Gadis itu berjongkok di depan Bagus Pandhita. Matanya menatap tanpa berkedip, pada sosok yang tengah tertidur pulas itu. Napas pria itu berembus teratur. Sepertinya dia tertidur dengan begitu damai.

Utari mengamati wajah tampan suaminya. Memperhatikan alis tebal Bagus, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan juga bibir pria itu yang penuh. Tanpa sadar, Utari sudah mengulurkan tangan hendak mengelus kerutan halus di sudut mata dan bibir pria itu. Namun dia segera tersadar, dan menarik kembali tangannya.

Dia tidak tega membangunkan Bagus Pandhita, namun pria itu juga butuh membersihkan tubuh setelah seharian ini kelelahan.

"M—mas Bagus, bangun. Mas belum mandi." bisik Utari sambil menggoyang-goyangkan bahu pria itu.

Bagus menggeliat sejenak, sebelum matanya menangkap sosok Utari yang berjongkok tidak jauh darinya. Tubuh gadis itu hanya terbalut kimono handuk tipis, yang memperlihatkan bayangan dadanya. Tapi sepertinya sang pemilik justru tidak menyadarinya.

"Jam berapa sekarang?" Bagus Pandhita berusaha mengalihkan fokusnya.

"Hampir jam satu. Mandi dulu, baru nanti boleh tidur."

Bagus Pandhita segera beranjak, dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Sepertinya dia tidak membutuhkan air hangat, tetapi justru perlu air dingin untuk mengguyur seluruh tubuh.

Utari beberapa kali menggosok rambut basahnya dengan handuk, sementara tangannya mengaduk-aduk isi koper. Dia mengambil baju tidur dan dalaman yang akan dia pakai. Sejenak dia tertegun, dan mengamati penampilannya barusan.

Wajahnya seketika memucat menyadari pakaian yang dikenakan. Pipinya langsung memerah, dan ingat tatapan membara pria itu kepadanya tadi. Utari memejamkan mata, dan berdoa semoga Bagus tidak menganggap dirinya sedang menggoda pria itu.

Dia cepat-cepat menyambar semua pakaiannya, lalu berganti di walk in closet, "Semoga Mas Bagus tidak mengira macam-macam. Ya Tuhan, aku sungguh merasa sangat malu!"



Love,


Maya

Rahasia Cinta ( SUDAH  TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang