Enam

26.8K 2.7K 308
                                    

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on.
(Amnesia – 5 Seconds of Summer)
•••

SANDRIA
Aku adalah orang yang takut menghadapi hal di luar rencana. Makanya, biasanya aku akan melakukan tindakan preventif untuk segala kemungkinan, contohnya dengan bawa payung tiap hari ke sekolah. Tapi kayaknya hari ini adalah adalah pengecualian. Payung yang biasanya selalu ada di dalam tas malah ketinggalan di atas meja makan saat aku memasukkan kotak bekal tadi pagi.

Sudah pukul tujuh kurang lima menit, aku masih berdiri di halte depan sekolah karena hujan yang cukup deras. Beberapa kali menghubungi Rita, siapa tahu dia bawa payung, dan ingin memintanya untuk menjemput, tapi nomornya nggak aktif. Kebiasaan, pasti ponselnya mati.

Saat bel masuk berbunyi. Aku nggak punya pilihan lain. Aku berlari bersama beberapa siswa yang tadi sama-sama berteduh di halte untuk masuk melewati gerbang sekolah dan mendengar Pak Yono berteriak, “Satu, dua, tiga, ….” Untuk menghitung sampai sepuluh sebelum gerbang benar-benar ditutup.

Aku menjadikan tas sebagai penutup kepala. Melewati lahan parkir sekolah sebelum masuk melewati ruang piket guru. Namun, ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatianku, Aldeo dan Elvina. Aldeo berjalan sambil membentangkan jas hujannya untuk menaungi dirinya dan Elvina dari hujan, mereka berjalan  berdampingan dari lahan parkir menuju ke arahku.

Dulu, aku yang berada di bawah jas hujan itu, berjalan bersama Aldeo sambil tertawa ketika langkah kita nggak beriringan dan membuat sebelah pundak basah terkena air hujan. Dulu, jas hujan itu juga pernah kupakai saat kehujanan dibonceng oleh Aldeo untuk diantar ke rumah.

“Lo aja yang pakai jasnya. Gue udah biasa ujan-ujanan. Kalau lo kan nggak biasa. Nanti masuk angin. Kalau lo masuk angin, lo nggak akan sekolah. Berabe kalau gue kangen," ujar Aldeo waktu itu.

Aku segera membuang kenangan itu dan melangkah masuk melewati ruang piket sebelum mereka menyusul. Beberapa kali aku mengusap pundak yang basah, rambut juga, rok juga. Ya ampun, Sandria. Hari ini kamu terlihat kacau.

Langkahku terayun memasuki kelas dan disusul suara, “Cieee!” dari seisi kelas, yang kuterka ditujukan untuk Aldeo dan Elvina yang masuk bersamaan, di belakangku.

Gemuruh suara ‘Cieee!’ nggak berlangsung lama karena tiba-tiba Sasti berteriak, meredakan kebisingan kelas, “Woi, mana uang kas?” Dia menghampiri Gilang dan berkata dengan suara kencang, “Gilang, lo nunggak udah dua minggu!” Terus teriak lagi. “Dani, beli kuota internet aja lo bisa, bayar seminggu goceng aja susah. Mana katanya mau bayar sekarang?” Dia bergerak lagi ke bangku yang lain. “Rafa, lo kurang dua rebu!” Terus teriak lebih kencang. “Yang belum bayar uang kas nggak akan gue kasih fotocopy-an tugas Kimia.”

Nggak salah memang kami memilih Sasti sebagai bendahara kelas. Siapa yang mau nunggak uang kas lama-lama kalau tiap hari diteror kayak gitu?

Setelah menyimpan tas di meja, aku bergerak ke meja guru, mengambil buku agenda yang disimpan di laci meja. Saat aku baru duduk dan mau menuliskan jadwal pelajaran di sana, Januar datang menghampiri. “Ya, kemarin gue nggak masuk karena izin. Suratnya nyusul ya, Ya. Belum dibikinin sama Bokap.”

Aku menatapnya. “Lo kemarin gue Line nggak jawab-jawab.”

“Gue lagi di jalan, ke rumah sodara yang mau hajatan.” Januar memohon. “Ya, Ya?”

Satu Kelas [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now