Satu

56.6K 3.7K 514
                                    

Don't look back. But if we don't look back, we're only running babe.
(Same Mistakes - One Direction)
•••

ALDEO
Gue malangkah pelan-pelan masuk ke rumah, berharap nggak ada yang lihat kedatangan gue tapi berakhir gagal karena ternyata nyokap lagi ada di ruang tv. “Masuk sekolah tinggal dua hari lagi ya, De?” tanyanya tanpa menatap gue karena di layar televisi sedang menampilkan adegan ftv yang mengenaskan. Gue nggak tahu adegan jelasnya gimana, tapi baru aja gue melihat adegan seorang ibu mendorong anaknya ke luar rumah dalam keadaan hujan deras. Ya ampun, nyokap gue tontonannya memang nggak pernah berubah.

“Iya, Ma,” jawab gue sambil ngeloyor menuju tangga. Dan kesialan yang kedua, gue menemukan kakak perempuan gue, Sahila, di puncak tangga, mau turun.

“Katanya mau ketemuan sama Yaya, kok udah balik lagi?” tanyanya sambil membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tebal itu di tangannya. Dia kuliah di jurusan Sastra Indonesia, dan berhasil menerbitkan beberapa novel yang sudah terjual di Gramedia. Oke, dia hebat, nggak kayak gue yang nggak ada apa-apanya ini.

“Udah,” jawab gue sambil naik tangga tanpa ngelihat dia.

“Putus ya lo?” terkanya ketika gue sudah sampai di tengah tangga.

“Putus?” Nyokap gue menyahut dari sofa tempatnya menonton tv.

Cewek adalah makhluk pencari informasi paling canggih. “Yaya ngomong sama lo?” tanya gue pada Sahila.

“Kebetulan aja tadi gue WA dia.” Sahila memicingkan matanya menatap gue.

“Ya ampun, De. Kamu mau nyari cewek kayak apa lagi, sih?” Mama mengabaikan tontonannya dan ikut-ikutan menghakimi gue.

“Merasa ganteng banget lo? Dikasih cewek cantik, baik, pinter malah disia-siain.” Sahila terus-terusan memojokkan gue. “Nggak tahu diri banget lo. Muka sama otak pas-pasan aja belagu,” umpat Sahila dengan wajah kesal.

Gue nggak tahu Sahila itu camilan sehari-harinya Bon Cabe apa Balsem Geliga, mulutnya pedes, pedesnya nyampe ke mata gue.

“Mulai besok kamu bantuin Mama jualan Tupperware ya, De,” ujar nyokap yang kini melangkah ke dapur mengambil minum.

“Apa lagi sih ini?” gerutu gue.
Mama menatap gue sebelum kembali ke depan tv. “Buat bayar guru bimbel Matematika yang bisa encerin otak ajaib kamu itu.”

Maksudnya, karena gue sekarang putus sama Sandria, nggak akan ada lagi yang ngajarin gue Matematika kalau mau ulangan atau ada tugas. Segitunya?

Sahila turun dan memukul bahu gue dengan kamus tebalnya sambil mendelik kesal saat berpapasan, lalu menggerutu pada nyokap, masih tentang gue tentunya. Dan gue bisa tebak kalau setelah ini mereka berdua akan ngomongin gue sampai berbusa-busa.

Nyokap bilang, gue ini memang anak yang nggak direncanakan kehadirannya. Nggak direncanakan ya, bukan berarti nggak diharapkan. Setelah melahirkan Sahila, Nyokap sama bokap nggak merencanakan punya anak lagi karena hipertensi, jantung dan asma yang dialami nyokap  membuat pengalaman melahirkan anak pertama, Sahila, dramatis banget. Sehingga membuat mereka trauma untuk punya anak lagi.

Jadi gue ini adalah anak  dari hasil ‘kebobolan’, yang kata bokap gue hampir mau dibuang ke tempat sampah. Karena waktu melahirkan, perut nyokap gue jadi harus dibelek karena pengalaman lahiran sebelumnya. Setiap bercanda bokap gue ngomong gitu, tapi makin hari gue jadi makin percaya kalau candaan itu serius,  karena tiap hari hidup gue cuma dicerca macam begini, apa lagi sama kakak perempuan gue itu.

Gue melangkah ke kamar, nggak menghiraukan mereka lagi. Setelah membuka pintu, gue merasa ponsel gue bergetar, ada sebuah pesan dari grup chat ekstrakurikuler Futsal. Dari Davin, Kapten Tim Futsal SMA 107 yang semangat banget ngumpulin anak-anak saat liburan begini.

Satu Kelas [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now