Bayangan samar

387 28 0
                                    

Sudah hampir satu bulan sejak aku keluar dari rumah sakit entah kenapa dia tidak pernah lagi menemuiku, melihat bayangannya saja tidak pernah.

Aku tidak berusaha mencarinya lagi kayak dulu, aku tidak ambil pusing. Kalau dia mau menemuiku pastilah dia akan mendatangi rumahku atau kelasku seperti yang sering ia lakukan. Sekarang aku ingin fokus dengan materi-materi mapel yang akan di ujiankan. Sebentar lagi aku akan melewati masa-masa menegankan di masa sekolah, yaitu ujian nasional. Suatu hal yang harus dilewati kelas dua belas sepertiku dan Dia kelas berapa yah? Akhh aku sudah kurang lebih dua bulan mengenalnya namun aku belum mengetahui dia kelas berapa? Apakah dia satu lektin atau adek kelas? Astagaa! Nama pun belum aku tanyakan?

Soal nanti jika aku tamat, apakah aku masih bisa bertemu dia? Tapi aku ingin bertanya, kenapa dia tidak pernah menemuiku lagi? Aku salah padanya? Perasaan hubungan kami baik-baik saja waktu itu, akhh sebuah bayangan buram langsung hinggap dipenglihatanku. Bayangan buram yang memperlihatkan aku yang sedang menerima map dari bunda?

Aku memegan kepalaku, rasanya tambah sakit. Kamu lajut disini yah sayang? Samar-samar aku mendengar suara bunda, aku mempererat genggamanku dikepala. Bahkan aku sampai menjambak rambutku sendiri, aku melihat bayangan itu lagi, aku melihat diriku yang mengangguk tersenyum mengiyakan perkataan bunda. "Sakit," ringisku.

"Mei? Kamu kenapa?" Tanya Gina yang berada didekatku. "Sakit banget Gin," keluhku. "Aku temenin ke uks." Gina langsung membantuku berdiri dan memapahku ke ruang uks. Diperjalanan aku berusaha melirik sekitar berharap retina mataku menemukannya, tapi kenapa? Retinaku tidak mendapatkannya? Kenapa juga dia harus menghilang? Apa dia tidak mengkhawatirkanku?

"Mei? Aku ke kelas yah? Gak papa kan aku tinggal? Soalnya aku juga mau ikut belajar." Aku langsung mengangguki ucapan Gina. "Makasih yah Gin," kataku tersenyum padanya. Dia mengangguk juga tersenyum. "Kamu baikan yah," ucapnya lalu pergi.

Kepalaku yang tadinya sangat pening sudah mendingan saat suster penjaga uks memberiku obat yang tidak kutahu obat apa itu.

Aku menelan ludahku lalu merebahkan badanku, pikiranku melayang mengarah padanya yang
Entah dimana ia sekarang. Sepulang sekolah nanti aku harus menemuinya di kost-annya, kenapa sih? Kenapa ia menghilang dariku? Bukannya dia tidak ingin berpisah denganku? Kenapa?

Kenapa ia menghilang tiba-tiba? Kenapa ia membuatku khawatir? Kenapa aku memikirkannya? Kenapa aku selalu menginginkannya? Sedang dia? Apa dia memikirkan aku? Dia menghilang dari aku, tanpa sebab akibat. Miris.

Lagi. Sebuah pertanyaan timbul dibenakku, apa dia mempermainkanku? Aku benar-benar tidak mengerti dengannya, tiba-tiba muncul dan tiba-tiba juga menghilang menyisahkan kekhwatiran seperti ini. Aku seperti bodoh dibuatnya, berusaha tidak menghiraukannya namun tetap saja kepikiran.

***

"Assalamu alaikum," ucapku lirih sambil memasuki rumah, aku langsung menuju kamarku tanpa mencari keberadaan simbok terlebih dahulu. Tanpa mengganti baju seragam aku langsung membaringkan badanku dikasur setelah sebelumnya kusimpan tasku ditempatnya.

Lagi. Semenjak di sekolah tadi pikiranku tak pernah lepas darinya, aku menatap langit-langit kamarku dengan bayang-bayang tentangnya. Sudah satu bulan loh aku tidak pernah bertemu dia lagi, dia sebenarnya siapa sih? Yang selalu memberiku tebak-tebakan dalam hidup. Pertama dia datang menenangkan lalu pergi, setelahnya muncul lagi memberikan harapan baru dan sekarang? Dia pergi lagi?

Atau... atau mungkin dia akhhh aku tidak bisa berpikir tentangnya lagi. Aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku membuatku menoleh kepintu yang tertutup. "Masuk aja," ucapku, aku menyuruhnya langsung masuk karna aku yakin itu si mbok dan benar saja saat pintu terbuka terlihat si mbok yang berjalan kearahku. "Ada apa mbok?" Kutanya.

"Itu non," ucapnya sepertinya takut-takut. "Itu dibawa ada nyonya Elvi," lanjutnya, aku langsung bangkit dari tidurku. "Tante Elvi?" Mataku menyipit. Mau apa dia?

"Non, si mbok takut maksud  kedatangannya jangan sampai ingin membicarakan rumah ini lagi," kata si mbok terlihat khawatir. Pikiran simbok tidak jauh dari apa yang kupikirkan saat ini, aku langsung tersenyum dan bangkit dari dudukku. "Aku temui dia dulu mbok," ucapku berjalan meninggalkan kamar.

"Tante?" Sapaku padanya yang sedang duduk di sofa ruang  tamu. "Hei Mei?" Sahutnya tersenyum, aku duduk didepannya. "Tante udah lama?" Tanyaku basa basi. "Oh barusan kok," jawabnya. Dih maksud kedatangannya apa yah? "Mei, mungkin kamu bertanya kenapa tante datang menemui kamu."  dia sepertinya membaca pikiranku saja. "Tante mau tau keputusan kamu tentang rumah ini, lagian sebentar lagi juga kamu tamat Mei," kata tante Elvi.

"Kamu tidak berubah pikiran menjualnya?" Tanyanya. Aku menghela napas lalu menggeleng. "Kenapa Mei? Tinggal berapa bulan kamu akan pindah ke pesantren?"

Aku menyipit sekaligus kaget. Pesantren? Pindah kepesantren? "Maksud tante?" Dia tersenyum padaku lalu menghela napas. "Aku tahu, kamu tidak mengingatnya," katanya membuatku tambah berpikir dan membuat kepalaku berdenyut pening. "Tapi bagaimanapun juga ini amanah dari Ayah bundamu," ucapnya bersamaan dengan si mbok yang datang membawakan minum. "Nyonya, diminum dulu minumannya," ucap si mbok.

"Aku harap perlahan ingatanmu pulih Mei," kata tante Elvi lalu menyeruput minumannya. Tunggu, maksudnya apa? Ingatanku pulih? Apa aku...?

Mataku mulai berawan hingga dia mengangkat suara lagi. "Aku dengar kamu sudah masuk rumah sakit?" Aku mengangguk menjawab. "Maaf aku tidak sempat menjengukmu, lagian sua_" kalimatnya menggantung lalu ia langsung menggeleng dan bersuara lagi. "Maksudku siapa yang menjagamu?"

"Ada teman tante," jawabku, dia mengangguk kudengar dia bergumam. "Kasihan dia." Aku menyipit. "Tante bilang apa? Dia siapa yang kasihan?" Tanyaku penasaran. Dia tersenyum sambil menggeleng. "Tidak ada," sangkalnya. Tapi maksudnya apa coba? Aku penasaran dibuatnya. Refleks aku memegan kepalaku yang berdenyut, perlahan bayang-bayangan samar terlihat dimataku, tapi bayang-bayang apa itu? Terlalu buram untuk dilihat dan terlalu memusingkan jika ingin menembusnya. "Kamu kenapa?" Tanya tante Elvi saat sadar akan sikapku.

Aku langsung melepas tanganku lalu menggeleng. "Tidak tante, aku gak papa kok," kataku. "Aku istirahat di kamar yah? Tante aku tinggal sebentar," lanjutku, dia mengangguk dan hendak membantuku untuk bangkit dari duduk namun aku menggeleng.

Aku berjalan ditangga dengan masih terbayang bayang-bayang buram itu, samar-samar aku mendengar suara Ayah kamu pasti bisa nak, Ayah yakin kamu sudah cukup dewasa. Akhh tambah pening, Gantian suara bunda yang kudengar tidak. Belum sekarang, tapi setelah kamu tamat SMA, kamu tidak akan berpisah sama bunda.

Aku terus saja berjalan ke kamar, hingga aku tiba dikasurku. Aku langsung melempar badanku, samar-samar lagi terdengar suara Ayah sesuai perjanjian nak, kamu sudah tujuh belas tahun. Mana mungkin kita mengingkarinya, ini amanah dari ibu panti kamu. Akhh aku meremas rambutku menahan sakit yang kurasakan. Sangat sakit, suara Ayah itu? Maksudnya apa? Amanah ibu panti?

Air mataku tak bisa kubendung lagi, sakit dikepalaku semakin menjadi-jadi. Bun, Aku baru tujuh belas tahun akhh itu suaraku? Dari mana? Suaraku dari mana asalnya? Apa Aku gak terlalu mudah bun? Itu masih suaraku. Aku menjabak rambutku terisak, apa maksud semuanya? "Mei? Kamu gak papa kan?" Suara tante Elvi terdengar mengetuk pintu diluar kamar.

Aku buru-buru bangkit berusaha menahan pening kepalaku dan cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Mei?" Suara tante Elvi kembali terdengar. "Iya tant," sahutku berusaha menormalkan suaraku. "Aku gak papa kok, bentar lagi aku keluar," kataku lalu berusaha bangkit untuk mengganti seragam sekolahku.

Aku tidak menghiraukan bayang-bayangan samar itu, meski kepalaku masih sangat pening aku terus berusaha terlihat tegar untuk keluar dari kamar setelah sebelumnya aku meminum obat yang dikasih oleh dokter, entah obat apa itu. Semenjak aku keluar dari rumah sakit aku terus mengomsumsinya, tanpa kutahu apa tujuannya. Tapi pastilah tujuannya berdampak baik bagiku, buktinya kepalaku agak mendingan setelah meminumnya.

________________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now