Kenapa tuan hujan?

840 36 0
                                    

Aku tersenyum sendiri didalam kamarku mengingat pria yang membuatku tertawa tadi, setelah main hujan dia pamit untuk pulang dan ia berjanji akan menemuiku lagi besok. Akhh, rasanya aku tak sabar untuk besok. Cara apalagi yang dilakukannya untuk membuatku nyaman?

Kurasa tak perlu aku memikirkan hal itu, aku pikir dia tak bisa kehilangan cara untuk membuatku nyaman. Aku menutup mataku perlahan sambil membayangkannya dengan senyuman, kuharap dia mampir kemimpiku.

***

Ahh pagi tanpa simbok sangat tak asyik, aku bangun hampir kesiangan dan juga tak ada yang menyiapkan sarapan. Hanya ada satu bungkus sari roti di kulkas yang tersisah, hanya itu yang kumakan untuk sarapanku. Sedikit menggajal laparlah, nanti aku bisa membeli makanan lagi di Kantin.

Setelah selesai dengan satu bungkus sari roti itu aku beranjak keluar dari rumah, saat membuka pintu aku dikejutkan oleh seseorang. "Astagfirullahal adzim," ucapku spontan sambil mengelus dada.

Kulihat cowok didepanku memakai seragam putih abu-abu lengkap dengan tas ranselnya, cowok itu tersenyum kearahku. Tuh kan dia tidak kehabisan cara untuk membuatku nyaman, aku ikut tersenyum kearahnya. "Kamu membuatku kaget," ujarku yang hanya dibalas kekehan olehnya.

"Ada apa pagi-pagi?" Tanyaku. "Aku ingin mengajakmu berangkat bersama," jawabnya. "Boleh," ucapku mencari-cari kendaraannya. "Tidak perlu dicari begitu, aku cuman naik sepeda." Dia menunjuk sepeda yang terparkir digerbang. "Mau kan naik sepeda bersamaku?" Tanyanya memastikan.

"Kenapa tidak?" Aku menaikkan keningku dengan tersenyum, sungguh senyumku tak bisa lepas jika tentangnya. "Naik sepeda denganmu lebih menyenangkan dibanding naik lamborgini bersama justin biber."

Dia tertawa mendengarku lalu bertanya, "memang kamu pernah naik lamborgini bersamanya? Kurasa aku perlu cemburu akan hal itu."

Gantian aku tertawa mendengarnya. "Kenapa ketawa?" Tanyanya. "Oh tidak, lucu saja. kamu cemburu dengan hal yang tak pernah aku lakukan," jawabku dengan tertwa ringan.

"Aku bercanda bahwa aku cemburu."

"He? Bukannya tadi kamu yang mengatakannya?"

"Iya, tapi aku bercanda. Karna aku tahu kamu tak pernah melakukannya." Dia tertawa dengan mata menyipit membuatku ikut tertawa juga. "Bisa berangkat sekarang mas?" Tanyaku menaikkan keningku. "Nanti aku terlambat."

"Kamu memanggilku mas?" Dia mengerutkan keningnya tampak lucu. "Kenapa?" Tanyaku "aneh saja," ucapnya. "Baiklah aku akan memanggilmu tuan, mungkin itu tak aneh lagi buatmu," kataku. "Dan akan kupanggil kamu nona," sambungnya.

"Tuan hujan. aku akan memanggilmu dengan sebutan itu," ucapku saat aku sudah berada diboncengan sepedanya sambil berdiri. Aku merasakan dia sedikit menolah padaku. "Kenapa tuan hujan?" Tanyanya.

"Biarkan saja, karna aku mengaitkanmu dengan hujan," jawabku. "Baiklah, dan kamu akan kupanggil nona pelangi," ucapnya. "Meira, nona pelangi."

Aku tersenyum mendengarnya, sangat nyaman kurasa berada disisinya. "Tuan hujan, apa arah kita searah?" Tanyaku. "Kurasa searah nona pelangi," jawabnya.

Saat sampai didepan sekolah, eh kenapa dia membelokkan sepedanya kegerban? "Jangan banyak pikir, aku sekolah disini juga," katanya mengungkapkan.

Ha? Dia satu sekolah denganku? Kenapa aku tak menyadarinya? Aku melihat seragam sekolahnya memastikan, Tuhan kenapa aku baru sadar? "Ayo turun nona pelangi, biar nanti sepulang sekolah dilanjut naik sepedanya." Suaranya membuyarkan lamunanku membuatku refleks turun dari sepeda.

"Kenapa tak memberitahuku?" Tanyaku setelah ia memarkir sepedanya dengan baik, entah kenapa aku tiba-tiba merasa kecewa. Kenapa ia tak memberitahuku dari awal? Dan kenapa juga aku merasa begini? Hal sekecil itu harus membuatku kecewa? Memang aku punya peran apa dalam hidupnya?

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now