Meira, maaf

594 23 0
                                    

Bau obat-obatan menyeruak masuk dihidungku, aku berusaha membuka mataku yang begitu berat. Perlahan aku melihat sekelilingku serba putih, aku berusaha mengangkat tanganku untuk menyentuh kepalaku yang sepertinya diperban? Dan tanganku begitu berat diangkat hingga aku sadar tanganku di infush, astaga. "Akhhh!" Aku melepas paksa infus itu, lagi kejadian itu mengingatkanku pada waktu kecelakaan maut.

Kulihat seorang suster, Lala, Aditi serta simbok buru-buru memasuki ruangan yang kutempati ini yang kutebak ruangan rumah sakit. Ditambah seorang dokter cantik yang berpostur tubuh agak gemuk, dan dia? Mataku tidak menghiraukan semuanya, mataku hanya berpokus padanya yang juga menatapku. Napasku naik turun sambil memangku tanganku yang bercucuran darah. "kenapa dilepas?" Tanya dokter itu hendak memasangkan kembali infus itu saat aku berteriak dengan refleks, "tidak! Aku gak mau pake ini!" Simbok dan 'dia' berbarengan menujuku, aku langsung menepis tangannya yang hendak memelukku dan beralih kesimbok yang langsung memelukku.

"Mbok," tangisku. "Aku gak mau pake ini." Aku menarik selang infus itu, dengan darah yang masih mengalir ditanganku. Kulihat dua sahabatku yang sepertinya menangis sambil berpelukan disampingku. "Mei." Dia mencoba meraih tanganku. "Tidak! Aku mau mereka keluar mbok!" Teriakku, entah kenapa aku muak dengan mereka termasuk 'dia' "aku mau ayah sama bunda," tangisku. "Mei, ini aku. Tuan hujanmu," ucapnya masih mencoba meraihku.

"Tidak!" Aku menepis tangannya dengan lemah. "Dek, bu, semuanya keluar dulu yah? Meira butuh ketenangan." Dokter itu menyuruh mereka keluar termasuk simbok lalu mengeluarkan jarum suntik dan menancapkan dilenganku, mungkin itu jarum suntik penenang karna setelahnya kesadaranku menghilang.

***

Aku kembali tersadar, saat kembali kucium bau obat-obatan itu. Tidak ada orang disampingku seperti tadi, aww aku merasakan nyeri dikepalaku. Pening. Aku menelan ludahku pahit, lalu melirik tanganku. Air mataku menetes tiada henti, bayang-bayangan masa itu berputar diotakku dengan lancarnya. Mulai dari aku keluar rumah saat melihat berita itu lalu kecelakaan dan berada di rumah sakit seperti sekarang juga dipasangkan infus. "Akhhh." Aku kembali berteriak, saar emosiku tak bisa kukendalikan. Tapi tidak, aku tidak melepas infusnya lagi melainkan aku hanya memukulkan kedua tanganku disisi ranjang namun bisa membuat darah keluar lagi diinfus itu.

Kulihat 'dia' langsung berlari memasuki kamar, dan memelukku dengan erat meski aku meronta. "Lepas! Aku gak mau kamu!" Teriakku. "Keluar!" Ingin rasanya aku meneriakkan aku benci kamu tapi tidak, aku tidak bisa. Aku sayang dia, aku gak membencinya.

Aku melihatnya memencet tombol yang ada didekat ranjangku, tombol untuk memanggil suster atau dokter. "Kenapa? Kenapa mau aku keluar?" Tanyanya bersamaan dokter dan suster membuka pintu, aku masih meronta dipelukannya.

"Permisi dek, adek tunggu dulu diluar yah?" Pinta dokter itu.

Setelah dia keluar aku tidak meronta lagi, aku tidak ingin disuntik lagi. Sudah cukup aku tidak sadarkan diri, sudah berapa lama waktu aku habiskan dalam keadaan tidak sadar?

"Dokter!" Pekikku saat melihatnya  memegan jarum suntik. Kulihat dokter itu tersentak, astaga aku mengagetkannya. "Kenapa?" Tanyanya panik, sementara suster yang memperbaiki infus ditanganku juga ikut berhenti dengan aktifitasnya sejenak. "Aku gak mau disuntik," jawabku memelas. "Aku gak memberontak lagi, janji dok," ucapku melemah.

Dokter itu melempar senyum ramah kepadaku. "Baiklah, tapi janji kamu gak akan memberontak lagi?" Pintanya. Aku mengangguk dengan isakan. "Oke, kamu istirahat yang tenang, jangan maini infus kamu. Terus jangan sesekali kamu mencoba menghayal apalagi dengan masa lalu kamu."

Aku menelan ludah susah, lalu mengangguk. "Coba, kamu pikir yang lain aja. Atau nggak ajak teman kamu diluar bicara," kata dokter itu. "Nggak dok, aku gak mau," tolakku. "Aku mau istirahat," sambungku lalu memejamkan mata.

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now