aku, kamu, juga hujan

985 50 0
                                    

"Dengan nona Meira?"

Tanya orang yang memakai baju kaos dan celana jeans yang juga dipadukan dengan kupluknya didepanku itu. Mataku tak bisa berkedip menatapnya. "Kamu?" Ucapku tak bisa percaya. "Kenapa? Kenapa menatapku seperti itu? Kaget aku menjadi pengantar makanan?" Tanyanya, lagi-lagi pertanyaan berantai.

Aku menggeleng masih menatapnya. "Aku bukan pengantar makanan kok, aku cuman membantu pegawai restoran tadi, membantunya sukarela juga dan kamu kurasa tak perlu tahu kenapa aku ingin melakukannya. Kuharap tanpa kuberi tahu, kamu sudah mengetahuinya," tuturnya.

Aku menggeleng. "Kenapa? Kenapa kamu membantunya? Aku tak tahu alasanmu, dan mungkin aku perlu mengetahuinya," ujarku.

"aku hanya pelanggan tadi di restoran itu dan tanpa sengaja aku mendengar percakapanmu dengannya melalui telpon, jadi aku langsung menawarkan diri untuk mengantarnya meski awalnya dia tidak percaya padaku. Dan alasanku melakukannya itu karna kamu, karna kamu nona Meira." Jelasnya.

Dia tahu namaku? Dari mana ia tahu? "Maaf telat antarnya," ujarnya lagi. Aku menggeleng. "Ini karna aku menunggu turunnya hujan dulu," katanya lagi. Akhh! Orang itu, selalu saja terkait dengan hujan.

Aku menatap kantongan yang dijinjingnya saat merasakan perutku nyeri karna lapar. "Hmm kurasa kamu bisa masuk dulu berteduh, sambil aku makan," ajakku membukakannya pintu cukup lebar.

"Mari makan," ajakku setelah memindahkan makanan yang diantarnya kepiring. "Aku sudah tadi, kamu saja yang makan. Mukamu sudah menunjukkan kelaparan," ujarnya mengundang kekehan pelanku.

"Mukamu lebih segar dari pada waktu itu dan kamu makin indah dipandang dari hujan, kurasa begitu. Apalagi ketika  kamu lebih semangat lagi untuk hidup," tuturnya tiba-tiba membuatku berhenti menyuap makananku dan mengunya pelan yang ada didalam mulutku.

"Kamu memujiku atau bagaimana?" Tanyaku menyipit. "Itu bukan pujian, karna nyata adanya," sahutnya masih setia memandangiku yang lahap makan, namun entah mengapa tidak menbuatku risih ditatap seperti itu.

Setelahnya tak ada lagi perbincangan diantara kami. Sehabis makan aku membersihkan piring yang kupake tadi lalu menghampirinya dengan membawakan earphon yang dulu ia tinggalkan. "Ini erphonmu kurasa kamu melupakannya waktu itu," ucapku mengulurkan earphon berwarna hitam putih itu.

Dia menatapnya tanpa meraihnya. "Itu buat kamu," ucapnya. "Aku tak bisa menjamin kedepannya kalau kamu akan terus menyukai suara hujan. Simpanlah untuk jaga-jaga."

"Hampir saja aku membencinya lagi," ucapku. "Kenapa?" Tanyanya. "Karna kamu," jawabku menatapnya dengan napas yang naik-turun.

"Kenapa aku?" Kurasa aku sudah membuatnya bingun. "Karna kamu yang muncul ditengah hujan lalu tak pernah lagi kutemui meski hujan-nya sudah berkali-kali kutemui lagi," jelasku menatapnya nanar.

"Ahh, ternyata kamu menginginkan aku datang bersama hujan lagi. Untunglah tadi aku datang," ucapnya tersenyum kearahku.

Entah keberanian apa yang menghampiriku, aku tiba-tiba saja memeluknya sambil menangis didadanya. Dengan refleks dia membalas pelukanku dan mengusap bahuku, lalu dia mengecup kepalaku?

Tuhan dia siapa? Kenapa aku setenang ini berada dalam dekapannya? "Jika suatu hari nanti aku tak berada disisimu lagi, cukup kamu menungguiku dipinggir danau itu. Jika tiga hari kamu menungguiku, namun aku tak kunjung datang kurasa tak ada lagi yang perlu kau harapkan dariku," tuturnya tepat ditelingaku.

Lama. Lama aku memeluknya, rasanya aku tak ingin lepas darinya dan aku juga merasakan dia tidak berusaha melepaskan pelukanku. "Mau aku ajar bahagia bersama hujan? Dulu kamu bilang padaku mungkin lain kali, semoga kita bisa bertemu lagi dan sekarang kurasa itu waktunya," ujarnya membuatku mengingat dan yah memang aku ingin belajar bahagia bersama hujan juga bersamanya.

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now