***

Sebenarnya, Aira tidak terlalu mengenal Eza. Hanya tahu bahwa bocah kecil itu benar-benar menyebalkan. Tidak bisa dipungkiri. Jam menunjukkan pukul setengah empat sore dan keduanya tengah duduk di bawah pohoh.

Ada beberapa orang di taman, kebanyakan anak-anak yang sedang bersama pengasuh ataupun kakaknya. Aira membuka kotak roti itu, melahap salah satu cup cake.

"Nah, sekarang lo ngapain melamun. Heran gue, kenapa lo?" tanya Aira sambil menggigit cup cake itu.

Eza menoleh sekilas. "Gak papa. Aku kan cuma bosan di rumah. Bang Ares juga kayaknya sibuk belajar melukis mulu. Eca juga lagi di rumah nenek. Nah kalau di rumah Papa sama Mama terus. Kan aku bosan."

"Ahela Cah, main game kan bisa."

"Aku gak suka."

Aira mengangguk, menggeser kotak roti yang berada diantara mereka berdua ke arah Eza. Anak laki-laki itu mengambil salah satunya dan memperhatikan cup cake itu, lalu menghela napas dan melihat anak-anak berusia 5 tahunan sedang bermain beberapa meter dari jarak mereka.

"Za," panggil Aira, "lo kenal Ares dari mana sih? Dia emang tinggal sendiri ya?" tanyanya ketika mengingat bahwa Rafi pernah bilang bahwa Ares tinggal sendiri.

"Sepuluh ribu dulu dong baru aku jawab."

Aira mendengus. "Oke, gocap deh."

"Serius?!"

"Tapi kembaliannya dulu dong empat puluh lima ribu."

"Mingkem aja deh akunya kalau begitu."

Aira tersenyum kecil, ia benar-benar bisa merasakan mempunyai adik laki-laki yang menyebalkan. "Deal."

Eza terlihat berpikir sebentar. Barulah anak laki-laki dengan rambut sedikit ikal itu menoleh ke samping. "Aku kenal Bang Ares udah luammmaaa banget. Umur aku kan sekarang sembilan tahun tujuh bulan jadi selama itu lah aku mengenal Bang Ares."

"Widih lama. Udah macam bapaknya ya."

"Kan, kan, gak jadi deh." Ucapnya tidak suka, merajuk.

Aira langsung panik, "Ahela, becanda Eza. Lanjut dong,"

Walau tatapannya menyiratkan kekesalan, Eza tetap melanjutkan. "Aku gak ngerti sih, ya masalah pekerjaan Papa. Kan Papa pengacara, jadi tuh, Papa-nya Bang Ares itu kayak kliennya Papa aku gitu. Jadi karena hubungan itu Bang Ares dekat sama aku."

"Kok gue gak ngerti."

"Itulah kenapa sekolah di dirikan, Kak Aira. Biar otaknya bisa bekerja." Ucap Eza setengah menyindir.

"Za..."

"Jadi tuh, Papa aku itu pengacara kepercayaannya Papa Bang Ares, aku bilangnya Kakek Ardi. Jadi, kata Mama ketika waktu aku lahiran, Bang Ares datang ke rumah sakit, jadi sejak itu, Bang Ares sering main ke rumah aku karena Cuma mau liat aku. Begitu."

"Oh-"

"Nggak ada siaran ulang ya kalau gak ngerti." Potong Eza dengan cepat ketika melihat Aira akan membuka mulutnya untuk berbicara.

"Emangnya gue bego," gumam Aira dengan kesal, lalu sedetik kemudian dahinya berkerut, "terus, Ares kenapa tinggal sendiri?"

"Kalau itu aku gak tahu. Lagian nih ya, Bang Ares juga baru tinggal setengah tahun." Akhirnya setelah sekian lama memegang cup cake itu, Eza memakannya.

"Kenapa nanya begitu, naksir ya sama Bang Ares?"

Aira hanya penasaran, tidak mengerti mengapa. Karena beberapa kali Aira datang ke rumahnya, tidak sekalipun ia menemukan orang tua Ares. Itu membuatnya penasaran terhadap sosok Ares.

Ares. Teman pertamanya ketika menginjakkan kakinya di Jakarta. Laki-laki yang mengantarnya pulang ketika ia lupa alamat rumahnya.

"Ye, enggak lah. Cuma sedikit penasaran." Kata Aira dengan anggukan serius.

"Cuma ingetin nih ya kak, Bang Ares suka sama cewek yang namanya Lisa. Soalnya dia cantik dan pandai nyanyi. Jadi, maaf nih, ngaca dulu dong."

"Eh-"

"Bang Ares kan ganteng, pinter, pandai melukis, aduhai, cowok idaman! Jadi, perbaiki diri dulu ya."

Ingin sekali Aira mencekik bocah dengan lidah tajam itu.

***

Setelah menunggu Ares selama setengah setengah jam dan laki-laki itu juga tidak mengangkat handphonenya, Eza mendongak gelisah. Tidak biasanya Abang kesayangannya itu mengabaikan panggilan darinya.

"Kok gak diangkat sih." Gumamnya menurunkan handphone nya dari telinga.

Aira yang menyadari itu mengangkat sebelah alisnya. "Bobo siang kali."

"Bobo sore maksudnya?" tanya Eza.

"Nah itu maksud gue." Aira menyengir, jelas sekali kalau bocah disampingnya itu nampak pintar hingga terus-terusan dengan pede menyindir Aira.

"Tapi kan, hp bang Ares selalu dering."

"Gue anter aja udah, ayo." Ajak Aira yang tengah duduk di atas sepedanya. Hari juga semakin sore, lagian jika untuk mengayuh sepeda ke rumah Ares yang jaraknya tidak sampai satu kilo meter, Aira sanggup.

Eza menatapnya ragu. "Bener bisa nyetir sepeda gak? Kalau nabrak terus aku masuk rumah sakit gimana?"

"Nah, lo kan punya asuransi. Beres itu mah."

"Gak jadi deh, Kak." Ucap Eza dengan mantap.

"Becanda. Ayo naik. Gue antar."

Akhirnya dengan ragu, Eza duduk di belakang Aira. Dan perempuan itu langsung mengayuh sepedanya dengan kencang. Hampir membuat Eza terkejut.

Lima belas mengayuh sepeda dan hampir menabrak kucing yang menyebrang, mereka sampai di rumah berwarna putih itu. Eza buru-buru turun dan menatap Aira dengan jengkel.

"Kenapa harus kencang-kencang coba? Aku hampir jantungan."

"Biar cepat sampe. Lagian ya, lo gue anterin bukannya bilang makasih malah ngomel. Gue tabok baru tau rasa lo."

"Kalau di tabok aku lapor sama Bang Ares biar kakak di tabok balik sama dia. Berani?"

Aira memutar bola matanya. "Bodo." Ucapnya lalu memutar balik arah sepedanya dan pergi dengan wajah dongkol.

Kompleks itu begitu sepi, walau di hari minggu. Hanya ada satu orang yang tengah sibuk menyiram bunga. Dan ketika ia melintasi jalanan bertepatan dengan sebuah mobil yang melewatinya. Aira langsung mengerem mendadak ketika dua detik lalu matanya melihat Ares dari kaca mobil yang terbuka.

Aira mengernyit, ia mungkin salah lihat.

Walau sekilas, ia bisa mengingat bahwa wajah laki-laki itu terlihat berdarah.

Benarkah itu Ares atau hanya mirip?

***

Next?

Gue lagi stress mikirin tugas bahasa Jerman gue, ya ampun. Dan akhirnya gue memilih mengerjakan update-an gue. Wkwkw.

Unsteady Where stories live. Discover now