Tujuh

11.7K 428 3
                                    

Aku mendengus kesal saat makan siang bersama Fany. Kali ini bukan karena ocehan sahabatku itu, tapi deringan handphoneku yang terasa sangat mengganggu. Bisma. Namanya tertera jelas disana. Tapi...rasanya aku masih malas berdebat dengannya. Rasanya aku ingin lepas dari perjodohan ini. Sangat menyiksa.

"Mawar, angkat kali! Dia kan tunangan lo." Fany.

"Nggak usah bahas deh, Fan. Gue lagi males ngomongin dia." kesalku. Fany terdiam. Kemudian kembali menyantap makanannya.

"Lo beneran nggak makan?" Fany.
Aku menggeleng kemudian menyeruput susu coklat di hadapanku.

"Habis ini lo mau langsung pulang?" Fany.

Aku mengangguk. Hari ini jadwal kuliah kami hanya sampai jam 12.30. Dan sekarang sudah berakhir. Jadi kami sudah bebas.

"Gue duluan ya!" pamitku pada Fany yang masih asyik menyantap makanannya.
Fany mengangguk. Akupun segera pergi dari kantin menuju ke parkiran.

Aku tersentak kaget saat melihat seorang pria bersandar di samping pintu mobilku. Aku menghentikan langkahku dengan segera.

Bisma?

Dia menoleh ke arahku. Sejenak, pandangan kami bertemu. Dia berjalan ke arahku. Dan sampainya di hadapanku, dia mengangkat tangan kanannya seolah meminta sesuatu.

"Apa?" tanyaku dengan nada dingin.

Sebisa mungkin, aku ingin terlihat kuat di depannya. Aku ingin terlihat sebagai perempuan pemberani dan tak pernah takut pada kekuasaannya.

"Kunci mobil kamu." jawab Bisma dengan nada santai. Aku menyerit bingung. Untuk apa?

Tatapannya mulai berubah jadi dingin
.
"Mana kunci mobil kamu? Berikan sekarang!" titahnya.

Aku menggeleng cepat.

"Untuk apa? Enggak! Minggir sana!" usirku.

Namun dengan cepat ia merebut kunci yang sedari tadi ku bawa dengan tangan kiriku. Kemudian dia berjalan cepat ke arah pintu sebelah kanan depan mobilku dan membukanya.

"Apaan sih?" kesalku.

"Buruan masuk!" perintahnya.

Sungguh. Aku sangat kesal dengan segala tingkahnya. Tapi dengan terpaksa aku masuk dan duduk di bangku samping kemudi.

"Mau apa lagi sih?" kesalku.

"Sudah ku katakan, jangan menyetir sendiri! Kenapa sih kamu susah banget di bilangin?" balasnya dengan nada menjengkelkan.

Aku tak menjawab. Aku mengalihkan pandanganku. Malas berdebat dengannya. Tak lama kemudian, Bisma mulai menjalankan mobilku dengan kecepatan sedang.

Aku kembali menatap Bisma saat ia berbelok ke kiri di perempatan. Ini bukan arah jalan rumahku.

"Loh kok ke sini sih? Kan harusnya lurus. Kamu mau bawa aku kemana?" protesku.

"Aku lapar." Bisma.

"Ya beli makan aja sendiri setelah nganter aku." suruhku.

My Beloved FianceWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu