12 - Malaikat di Saat yang Tepat

Mulai dari awal
                                    

"Alen, dengerin Papa," Rajendra memangku anaknya di atas salah satu paha. "Kemarin Papa ketemu sama Mama. Mama bilang, Mama minta maaf karena sudah bikin Alen takut. Tapi tenang, Mama nggak akan kayak gitu lagi. Kalau ketemu lagi, Mama janji akan bersikap baik sama Tante El. Mama juga janji akan bawa hadiah buat Tante El yang udah baik banget jagain Alen selama Mama kerja. Mama nggak nakal kok, Mama hanya terlalu sayang sama Alen. Jadi, Alen jangan takut ketemu Mama. Jangan takut buat sekolah. Alen jagoan, kan?"

Anak itu mengangguk. Matanya terlihat mengambang, antara paham dan tidak paham. Tapi sejujurnya aku cukup setuju dengan cara Rajendra dalam menenangkan Alen. Cukup tanamkan bahwa Nadira bukan jenis Mama yang nakal. Cukup yakinkan bahwa Nadira begitu menyayangi Alen. Cukup pastikan bahwa Alen tidak akan membenci Mamanya. Apapun yang terjadi pada orang dewasa ini, tidak perlu diperjelas pada Alen, karena percayalah Alen tidak akan mampu menelannya.

"Papa pasti bohong. Alen nggak suka."

"Nggak, Len. Papa nggak bohong."

"Mama nggak akan nakal lagi, Pa?" sekali lagi Alen belum yakin.

"Nggak dong. Mama baik sama siapapun."

"Tapi kalau pukul Tante El lagi?"

Rajendra menarik senyum kecil, mengusap-usap kening Alen. "Karena Alen jagoan yang hebat, jadi, jagain Tante El buat Papa. Bisa, jagoan?"

"Bisa!" seru anak itu antusias. Tubuhnya sudah berdiri tegak di depan tubuh sang Papa. "Alen pasti jagain Tante El."

Lagi, jantungku bergemuruh hebat. Kembali, aku semakin diyakinkan untuk tidak pergi kemanapun. Sekali lagi, Rajendra membuatku lemah.

❄❄❄

Saat aku merasa mengemban tanggung jawab pada Alen, maka bukan berarti aku lupa tanggung jawabku pada Marisa. Aku sering mengirimi ia pesan. Sekadar bertanya kabar, atau kalimat sedang apa yang membosankan. Mungkin adikku ini menganggap kebiasaan ini kolot, jadilah dia jarang membalas pesanku. Untunglah aku mengikuti semua kehidupan dunia mayanya yang sibuk. Membuatku tahu bahwa dia baik-baik saja, meski terasa menyebalkan karena lebih sering mengabaikan pesanku.

Siang tadi, aku mengajak Alen mampir ke rumah untuk menjenguk Marisa. Rajendra mengijinkan. Malah menyuruhku pulang sore supaya ada waktu lebih lama untuk bertukar cerita dengan adikku. Tapi dia meminta alamat rumahku, katanya akan menjemput kami sore nanti.

Masalahku hanya satu, bagaimana cara membuat Alen betah meski rumah ini terasa begitu pengap. Jangan heran, Alen telanjur terbiasa dikurung dalam ruang penuh AC yang dingin. Andai saja tidak turun hujan, mungkin Alen benar-benar sudah berteriak ingin pulang sejak siang tadi.

"Mbak?"

"Hm."

"Jangan sampai aku kelupaan," gadis itu berseru. Menutup pintu kamarnya, lantas bergabung denganku di ruang tamu kamu yang luang. Hanya ada meja TV tanpa ada sofa mahal. "Ini undangan wisudaku."

Mataku terus berbinar-binar menyambut amplop putih ini, "Wah, Mbak nunggu ini sejak lama, akhirnya datang juga. Kapan ini, Ris?"

"Dua minggu lagi. Hari Selasa."

"Duh. Kok bukan weekend, terus Alen Mbak titipin ke mana?"

"Ke Papanya lah."

"Papanya sibuk kerja."

"Ke Mamanya dong, Mbak. Mamanya belum mati."

Aku berdecak. Mataku jatuh pada Alen yang terlelap dalam, "Andai keadaan semudah itu Ris."

"Terserah. Pokoknya Mbak harus mentingin aku dari pada bocah ini. Dia bener-bener ngerebut Mbak El dari aku."

Kepalaku kembali terangkat. Beralih menatap adikku yang tengah merajuk dengan lembut. Aku melihat kecemburuan di sana. Melihat setitik kesepian, juga beberapa kekecewaan.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang