12 - Malaikat di Saat yang Tepat

35.3K 4.7K 431
                                    

Jendra harus ngapain, supaya bikin kalian sukses luluh??? 😆😆😆

❄❄❄❄

"Alen nggak mau sekolah !"

Aku menulikan telinga untuk penegasan Alen yang serupa dengan teriakan itu. Tanganku tetap gesit mengeluarkan seragam yang akan dikenakan oleh Alen hari ini. Soal Alen yang enggan sekolah, tenang saja, itu tidak akan pernah kukabulkan.

Alen harus tetap sekolah hari ini. Dan aku akan melakukan segala cara untuk membuat dia tunduk pada perintahku. Bukan semena-mena, aku hanya tidak ingin membiasakan Alen bersikap malas. Dia harus jadi anak yang rajin. Hanya sekolah loh ini, bukan bekerja yang melelahkan?

"Tante El, Alen nggak mau sekolah," sekali lagi Alen berteriak. Lama-lama aku benar-benar akan tuli karena teriakan anak ini.

"Kamu harus sekolah, Alen."

"Nggak mau," balasnya keras. Dia meraih handuk putih yang tersampir di pundakku. Dibuangnya jauh-jauh. "Alen nggak mau sekolah. Titik."

Aku mengembuskan napas jengah. Menghadapi anak Rajendra memang tidak bisa dengan sikap keras. Aku turun, berjongkok. Mensejajarkan wajahku dengan wajah Alen yang memerah padam menahan kesal. Dia begitu bersemangat saat mengenakan seragamnya kemarin. Lantas mengapa tiba-tiba jadi tidak ingin lagi bersekolah hari ini?

"Alen, dengerin Tante El," ujarku lembut. Alen alih-alih membuang muka. "Alen kan baru sekolah satu hari. Bu guru sama temen-temen pasti nyariin Alen kalau Alen nggak datang lagi. Terus, katanya Alen mau cerita ke temen-temen soal tulang Alen yang patah. Ya, kan?"

Anak itu lebih dulu menerawang jauh. Lantas kepalanya mengangguk menyetujui, hingga sontak menerbitkan senyum legaku.

"Oke. Jadi yuk, kita mandi."

"Nggak mau," dia menyentak tanganku. "Alen nggak mau sekolah. Tante El, nakal," tukasnya dengan sinis.

Jika nanti aku punya anak, aku ingin anak gadis saja. Sepanjang aku mengamati, anak gadis lebih mudah diatur. Berbanding terbalik dengan anak cowok yang biasanya lebih berani. Dan tolong, jangan yang seperti Alen. Perpaduan antara tampan, pandai, ekspresif, dan keras kepala benar-benar sukses membuat kekacauan dalam otakku.

"Pasar pagi pindah ke kamar ini, ya?"

Suara tegas menyela pertikaianku dan Alen. Aku melirik sebal pada Rajendra yang sudah rapih sepagi ini. Selain tampan dan jantan, aku tak tahu harus menyebutnya dengan apa. Aku berdecak. Mengembalikan otakku agar waras kembali.

"Papa mau kerja?"

"Hm," Rajendra bergumam. Selangkah dua langkah, dia mendekati posisiku dan Alen. Rasanya aku ingin berlari sekarang. "Papa dengar, Alen nggak mau sekolah. Iya?"

"Ya. Papa juga nggak boleh kerja." jawab Alen ringan.

Rajendra berjongkok, "kenapa begitu?"

"Pokoknya Papa di rumah saja," ujar Alen seperti merengek. "Jagain Alen sama Tante El. Papa jangan kemana-mana, nanti kalau Mama datang terus mukul Tante El lagi, gimana? Alen nggak mau sekolah. Alen mau di rumah saja sama Tante El."

Ini yang kutakutkan sejak kemarin. Alen pasti akan mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lainnya. Dia takut bersekolah, karena dia takut insiden penamparan kemarin kembali terulang. Aku mendapatkan tatapan sayu dari Rajendra. Dia, barangkali juga merasakan kekhawatiran yang sama. Dan barang kali lebih besar.

Sekelabat, aku membawa tubuh lemasku duduk di ranjang Alen. Membiarkan Rajendra menanggung ulah mantan istrinya yang tak terkendali. Hatiku sakit. Hatiku berbisik,l membuat janji pada diri sendiri. Kelak jika aku sudah menikah, apapun masalahku dengan suamiku semoga tetap jadi rahasia kamar kami. Kelak jika aku sudah menikah, semoga tidak pernah ada perceraian. Aku tidak menginginkan jumlah anak bernasib seperti Alen makin bertambah.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang