04 - Arogansi

37.3K 5K 244
                                    

Sewaktu SMA, aku termasuk gadis yang cukup populer. Keaktifanku dalam organisasi, membuatku dikenal oleh banyak orang. Sifatku yang supel, menjadikanku mudah mengumpulkan teman. Parasku yang lumayan ditunjang dengan ketenaranku sebagai sekretaris OSIS membuat tak sedikit cowok yang datang dengan terang-terangan untuk mendekatiku. Di kalangan guru, aku dikelompokkan sebagai siswa yang cerdas. Tidak sedikit yang meyakini bahwa aku akan jadi dokter hebat di kemudian hari.

Bukannya sombong. Aku hanya sedang ingin membandingkan kehidupanku di masa jaya dan kehidupanku saat ini. Sungguh. Mengingat masa SMAku dulu, membuatku ingin menangis keras. Ingin membanting apa saja yang ada di depanku saat ini. Ingin memaki siapapun yang sudah meninggalkanku sendirian. Semua keadaan berbanding terbalik. Aku terpuruk mengenaskan sekarang.

Entah bagaimana mulanya. Yang pasti hariku tak lagi indah semenjak berdiri di depan gerbang kampus. Masa ospek, aku masih tampil tanpa beban. Beberapa bulan kemudian, tiap kali berjalan ada saja yang menatapku sinis. Aku mencoba abai, tak berusaha kucari tahu mengapa sikap teman-temanku jadi menyebalkan seperti itu. Lambat laun, mereka semakin menjadi. Tidak sekadar melirikku sinis, mereka bahkan sudah terang-terangan mengejekku simpanan om-om.

Tentu saja aku murka dengan tuduhan semena-mena itu. Aku mengamuk di setiap gerombolan yang kulalui. Bahkan, tanganku pernah terayun ringan menampar pipi seorang gadis dengan bibir tipis. Dan mulai sejak itu hariku benar-benar kelam.

Semua orang menjauhiku. Gosip bahwa aku adalah simpanan om-om makin santer terdengar. Aku jadi tidak nyaman pergi kemana pun. Bisa dibayangkan kuliah kedokteran yang sulit dengan keadaan dikucilkan, membuat segalanya makin berat. Papa berkali-kali marah, karena nilaiku tidak sama sekali berkembang.

Pada saat-saat seperti itu aku hanya mempunyai dua orang. Kakak beradik, yang tidak menjauhiku dan terus berada di sisiku. Adisti dan dia-pria sialan yang kini sudah menatapku dengan benci. Ck.

"Aku memintamu datang pagi-pagi," desisnya sengit.

Tadi pagi dia memang mengirimiku pesan. Isinya memintaku untuk datang di bawah jam delapan. Tanpa membalas, aku menangguhkan perintah semena-mena pria ini. Aku juga punya pekerjaan, dan aku punya tiga pelanggan yang harus segera kusurvei. Kalau hanya ingin merendahkanku, pria ini bisa melakukan jam berapapun. Termasuk, jam tiga sore seperti sekarang.

"Maaf, tapi saya punya pekerjaan yang menunggu."

"Terserahlah. Pegawai dealer saja sok sibuk sekali, ayo masuk."

Bibirku sukses memberengut, entah sejak kapan dia memiliki hobi merendahkan orang lain. Kutahan kakiku agar tidak berjalan menghentak, supaya tidak mengundang kemarahan pria ini untuk kesekian kali.

"Masuk, El. Kamu punya kuping atau tidak?"

Wow. Dia masih mengingat namaku. Nada saat menyerukan namaku dalam keadaan kesal juga tidak berubah. Tak sadar, bibirku sudah mengulas senyum. Kuikuti langkah kakinya yang besar di sepanjang lantai rumahnya.

Rumah ini bukan tipikal rumah bak istana. Hanya dua lantai, dengan bangunan cukup luas. Halaman di depan sana juga sempit, tidak seperti rumah gedongan ala novel-novel. Perabotnya di dalamnya juga standar, jauh jika dibandingkan dengan perabot milik boss travel itu. Dinding-dindingnya bahkan masih polos. Kalau diteliti sekilas, aku menduga rumah ini baru saja dihuni.

"Duduk."

Aku mengangguk. Tanpa sungkan, kupandangi gayanya yang sok sekali. Apa pekerjaanya sekarang? Terakhir kali kami berhubungan, dia menyelesaikan profesi akuntannya. Apa sekarang dia sedang sibuk memburu tikus-tikus berdasi?

"Soal jalur damai-"

"Ah, iya. Saya bawa uangnya," kataku yang baru saja mengingat segepok uang yang kubawa. Sedari tadi aku sibuk meratapi nasib. Sibuk membandingkan keadaanku dan keadaan Rajendra. "Ini, saya baru punya uang segini."

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang