Prolog

62.7K 4.8K 479
                                    

Maybe I shoulda known. That you would walk, you would walk out the door.
(Really Don't Care, Demi Lavato)
•••

ALDEO
Sandria adalah pacar gue. Iya itu, cewek yang lagi duduk sendirian di dalam kafe. Cewek berkacamata yang rambutnya kebetulan lagi dikuncir satu, yang sekarang cemberut dengan mata menatap tajam ke arah gue.

Harusnya gue datang dua jam yang lalu, sesuai waktu yang dijanjikan. Dan sekarang pasti gue udah bikin dia marah dan kesal karena datang terlambat.

"Telat lagi? Ketiduran lagi? Atau keasyikan main Mobile Legends? Atau kebablasan nonton pertarungan Naruto dan Sasuke yang udah lo puter ratusan ribu kali itu?" tanyanya dengan suara sinis.

"Semuanya," jawab gue enteng. "Ini kan liburan sekolah, Ya. Semalem gue main game sampai subuh, habis sholat Subuh gue tidur, sampai siang. Pas bangun ngelihat laptop nganggur terus nonton Naruto. Gue baru inget kalau jam 4 sore kita ada janji," jelas gue yang semakin membuat wajahnya merah.

"Lo inget kalau kita punya janji jam 4 sore saat lihat jam udah nunjukin jam 4 sore?" tuduhnya.

"Iya." Gue ngangguk. Sikap gue memancing amarah dia banget kayaknya. Akan gue terima setulus hati kalau lima atau sepuluh detik berikutnya dia gebok gue pakai buku Rumus Cepat Matematika yang selalu dia bawa ke mana-mana di dalam tasnya--yang kebetulan sekarang ada di atas meja.

"Lo kenapa, sih?" tanyanya dengan wajah gerah.

Gue baru sadar kalau di hadapannya ada dua gelas kosong bekas Almond Crush, minuman kesukaannya. Keterlaluan nggak sih gue bikin dia nunggu dua jam lamanya sampai dia minum dua gelas tinggi minuman? Pasti perutnya kembung tuh sekarang.

"Gue tanya sama lo, lo kenapa?" desaknya. "Ini bukan pertama kalinya lo telat kayak gini. Berkali-kali." Dia melotot, kelihatan marah banget. "Selama liburan lo juga udah nggak pernah nge-chat duluan. Kalau di-chat balesnya lama." Kedua lengannya melipat di dada. "Lo bosen ya sama gue?" tanyanya, yang pengin banget gue anggukin kalau nggak mikirin perasaannya-dan takut dua gelas kosong itu melayang ke jidat gue.

Usia pacaran kita hampir satu tahun, dua bulan lagi kita anniversary yang pertama, bulan Agustus tanggal 26. Tapi kayaknya nggak akan nyampe. Kalau ditanya kenapa, gue juga nggak tahu. Yang gue rasa bosan aja gitu, jenuh. Kita jadian waktu kelas sepuluh kemarin. Jadiannya karena kita satu kelas di X MIA 2. Tepatnya, waktu itu kita kebetulan satu kelompok tugas Fisika, dan saat pulang ngerjain tugas dari rumah Ojan-yang sama-sama satu kelompok juga, gue boncengin Sandria pulang naik motor karena kasihan lihat dia pulang sendiri sementara teman-teman yang lain dijemput abang atau orangtuanya. Terus, besoknya Ojan bikin gosip di kelas kalau gue lagi PDKT-in Sandria, sampai satu kelas tahu dan ceng-in gue sama Sandria. Dan, yah kalian tahu kan peribahasa, Yang dicie-ciein akan baper pada waktunya. Itu lah gue.

Gara-gara itu, kalau ngelihat Sandria bawaannya jadi grogi, deket-deket aja jadi salah tingkah. Sandria yang tadinya gue anggap biasa aja, berubah jadi cewek paling cantik di kelas. Kalau ngelihat dia tuh adem tapi cerah, kayak lihat masa depan. Pokoknya, gue kasmaran. Sampai akhirnya gue nembak dia lewat telepon dan dia terima.

Sandria memang beneran cantik kok. Selain cantik dia juga pintar-bahkan ranking satu di kelas-dan baik. Calon menantu idaman nyokap banget pokoknya. Tapi, semua perasaan gue tiba-tiba berubah saat liburan kenaikan kelas, ya sekarang ini. Males banget bawaannya ngehubungi Sandria, dia nelepon aja kadang nggak gue angkat dengan berbagai alasan, kalau dia nge-chat gue balasnya malas-malasan.

Tiba-tiba aja gue merasa jenuh dengan hubungan kami yang gitu-gitu aja. Setiap hari pasti ketemu di sekolah. Pulang sekolah kadang suka nungguin dia belajar di perpus kalau dia lagi nggak ada jadwal Bimbel. Kalau weekend kita jalan, atau kadang cuma nganter dia ke Gramedia buat beli buku-buku pintar yang ada di list belanjaannya tiap bulan. Obrolan kita ya gitu-gitu aja, ngobrolin hobi gue dan ngobrolin hobinya yang jelas-jelas nggak nyambung. Kadang gue ajak bercanda sambil nyebut-nyebut, "Kage Bunshin no Jutsu!" Dia cuma melongo sambil bilang, "Apaan, sih?" Sebaliknya, kalau dia bercanda pakai istilah Matematika yang bilang, "Nggak berharga itu, kayak angka nol di belakang koma." Gue malah melongo dan mikir kelamaan sampai akhirnya candaan kita jadi crunchy banget.

Ada nggak, sih yang pernah kayak gue? Bosan, sebosan-bosannya sama sebuah hubungan tanpa alasan yang jelas. Serius nanya.

"Ya." Yaya maksudnya, panggilan kesayangan gue buat dia. Lalu gue berdeham minta perhatian. "Lo ngerasain apa yang gue rasain nggak, sih?" tanya gue hati-hati. Mirip lagi mecahin telur, takut yang kuningnya pecah.

Sandria memasang wajah nggak mengerti. "Rasain apa?"

Gue doang berarti. Dua kesulitan terbesar dalam hidup sebagian cowok adalah ketika nembak dan ketika mutusin. Nembak, ngeri ditolak. Mutusin, ngeri digampar. "Kalau .... Ini kalau, ya. Kalau gue minta putus gimana?" Hati-hati banget gue bilangnya. Lebih hati-hati dibanding waktu bilang minta dibeliin hp baru ke nyokap.

"Putus?" Sandria kelihatan nggak menyangka.

Gue tahu gue udah menyakiti dia sekarang dengan pertanyaan tadi.

"Lo mau mutusin gue?" tanyanya.

Eh? Gue malah gelagapan. "Nggak gitu. Maksud gue ...." Dan kehilangan kata-kata adalah hal yang pasti dalam keadaan kayak gini. Mau jujur takut bener-bener digampar, mau ngebohong tapi nggak bisa mikir.

"Gue nggak mau!" ujarnya tegas.

Gue menelan ludah. "Boleh gue jelasin sesuatu nggak?" Gue menenangkan Sandria yang sekarang wajahnya udah merah banget.

"Gue nggak mau diputusin," ulangnya.

"Oke. Oke." Gue mau memegang tangannya tapi dia menghindar.

"Kita putus!" ucap Sandria tiba-tiba.

Lah? Gue melongo dengan wajah kaget. Nggak konsisten banget sih nih Sandria. Bikin gue bingung aja.

"Gue nggak mau diputusin," ujarnya. "Jadi gue yang mutusin lo." Dia memasukkan buku Rumus Cepat Matematika dan pensilnya ke dalam tas. "Gue udah tahu, lo memang pengin putus, kan? Jadi, kalau nanti di sekolah ada yang nanya tentang hubungan kita, bilang kalau gue yang mutusin lo." Dia berdiri, lalu menatap tajam ke arah gue sebelum pergi.

Ini nih, cewek. Nggak bisa ditebak.

***

Terima kasih untuk bantuan saran visual karakter dari "Satu Kelas". Jadi makin bingung, deh. Hahaha. Merasa banyak yang cocok.

Vote dan komen akan sangat membantu untuk memberi semangat melanjutkan chapter berikutnya. ^^

Thank you~

10-01-18

Satu Kelas [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang