Chapter 6: Pertemuan Pertama dan Rasa Sakit

Start from the beginning
                                    

"Anjir! Gue mau ngakak rasanya liat muka lo," ucap Abi sembari mendekap bibirnya, berusaha menahan tawanya.

Austin yang melihat itu langsung membubuhi Abi dengan tatapan tajamnya, berusaha mengintimidasi pemuda itu. Tapi sayangnya, itu tak mempengaruhi Abi sama sekali, temannya itu justru semakin tertawa dengan suara yang sedikit kencang dari sebelumnya.

"Bangsat! Malah makin kenceng ketawanya," gerutu Austin dengan nada gusar.

Abi berdeham pelan, berusaha mengendalikan dirinya agar tidak tertawa lagi. "Oke, oke. Ayuk ah, jangan lamaaaa," ucapnya sembari melangkah menuju ujung lorong.

Austin hanya mendesah pasrah dan berjalan dengan langkah berat menuju kamarnya. Pemuda itu menahan nafasnya ketika sampai di depan pintu apartemennya. Jantungnya yang semula normal kini kembali berdetak tidak karuan, hingga Austin mengelus dadanya—berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Austin home!" teriak Abi ketika membuka pintu apartemen Austin.

Hal pertama yang Austin dapatkan ketika dirinya muncul di depan pintu adalah pelukan dari Aurin yang berlari ke arahnya. Adiknya itu memeluk Austin dengan erat, hingga untuk beberapa saat Austin mengernyitkan keningnya ketika merasakan sesak karena pelukan Aurin yang begitu erat.

"I miss you so much, Austin!" lirih Aurin yang ternyata sudah menangis di dalam pelukannya.

Austin yang melihat itu pun terkekeh pelan. Ia membalas pelukan adiknya itu, mengusap punggung dan kepala Aurin secara bergantian sembari sesekali menghirup wangi rambut adiknya yang ia rindukan.

"I miss you too, baby girl."

Aurin merenggangkan pelukannya, mendongak untuk menatap Austin. Gadis itu mengangkat tangannya, mengelus pipi saudara kembarnya sembari memperhatikan wajah Austin yang terlihat semakin tirus. Mata pemuda itu terlihat menghitam dibagian bawah, menjelaskan jika Austin sangat lelah.

"Kakak kurus banget," gumam Aurin masih memperhatikan wajah Austin.

Austin terkekeh mendengar itu. "Dari mana kurusnya? Kakak aja makan terus," sangkalnya.

"Bohong, dia galauin Cikha jadi males makan," ucap Abi tiba-tiba sembari bersedekap dada, memandang Austin dengan pandangan mengejek ketika Austin justru memandangnya dengan tatapan tajam.

"Lo apa kabar?" tanya Reon dan Riko bersamaan, keduanya berjalan mendekat dan bergantian menyalami Austin.

"As you see, gue baik-baik aja kok," jawab Austin sembari tersenyum tipis.

Austin terdiam sejenak, matanya memperhatikan sekeliling apartemennya. Keningnya mengerut ketika tidak mendapati seseorang yang ingin ditemuinya, pemuda itu kemudian mengarahkan pandangannya pada Abi dan memberikan tatapan bingung.

Abi yang mengetahui pandangan itu pun akhirnya tersenyum. "Lo nyariin dia?" tanyanya sembari menggedikan dagunya ke belakang Austin.

Austin mengikuti arahan itu, tubuhnya membeku ketika mendapati seseorang yang sedang dicarinya. Cikha berdiri di belakangnya dengan senyuman tipis yang menghiasi wajah cantik gadis bermata abu-abu itu. Tubuh Austin terasa kaku, ingin rasanya ia menghambur ke arah gadis itu dan menarik Cikha ke dalam pelukannya—sayang itu hanya sebuah angan, karena pada kenyataannya Austin justru hanya terdiam mematung di tempatnya.

"Austin..." mata Cikha terlihat berkaca-kaca ketika memanggil nama itu. Bibirnya mulai bergetar seiring dengan matanya yang mulai berembun—menghalangi penglihatannya akan seseorang yang selama ini ia rindukan.

Cikha mulai melangkah mendekat, kakinya terasa berat untuk digerakan, namun gadis itu terus memaksakan hingga akhirnya ia berdiri berhadapan langsung dengan Austin yang masih mematung.

Everything Has Changed [2] : Their HurtWhere stories live. Discover now