Chapter 5: Belenggu Rasa

249 24 1
                                    

Chapter 5: Belenggu Rasa

[][][][][]

"Saat sang rindu membelenggu hati dan meminta untuk sang empunya merasakan bagaimana sakitnya menahan rindu tanpa bisa menjumpa, luka lain akan hadir menggores sang hati yang rapuh. Belenggu rasa yang tak bisa dipahami membuat hati menyiksa diri."

[][][][][]

KESUNYIAN di dalam ruangan itu tidak membuat sang empunya ruangan merasa terganggu. Justru dirinya memang memilih keheningan untuk mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba merasa sesak saat matanya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya terasa diremas kuat.

Ada satu perasaan yang tidak dapat dideskripsikan ketika retinanya menangkap satu objek yang benar-benar membuatnya bungkam, sesuatu yang selama ini selalu ia hindari—lebih tepatnya memaksakan untuk menghindari agar perasaan lain yang tertanam di dalam hatinya tidak memaksa dirinya untuk merasakan sakit yang lain.

Austin menghembuskan nafasnya berat. Pemuda itu memejamkan matanya, merasakan detak jantung yang berpacu cepat, memompa darah ke seluruh tubuhnya—walau kini dirinya justru terlihat seperti seseorang yang hampir kehabisan darah, terlihat begitu pucat.

Abi yang sedang duduk di sebelahnya hanya bisa meletakkan tangannya pada bahu Austin, berusaha untuk memberikan kekuatan pada sahabatnya yang terlihat sangat rapuh saat ini.

"Kak?" suara panggilan itu terdengar dari laptop yang berada di hadapan Austin.

"A-Aurin... gimana bisa kamu—" Austin tercekat, tidak mampu untuk melanjutkan kata-katanya ketika matanya kembali memperhatikan sesuatu yang berada di dalam laptopnya—lebih tepatnya seseorang yang kini sedang tertidur di belakang Aurin.

Aurin yang mendapati ekspresi terkejut dari sang kakak pun menghela nafasnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan keadaannya sekarang pada Austin. Saat ia bertemu dengan Cikha tadi, tiba-tiba saja gadis bermata abu-abu berhenti berbicara—wajah cantiknya terlihat sangat pucat. Belum sempat Aurin bertanya, Cikha justru sudah jatuh pingsan dan itu cukup untuk membuat Aurin dan Reon panik.

Aurin tidak memiliki maksud apapun untuk mengatakan hal ini pada Austin, tapi Reon justru memberikan saran kepada Aurin untuk menghubungi Austin melalui salah satu aplikasi untuk video call, dan di sinilah mereka sekarang—saling memandang melalui layar pipih yang berada di genggaman Aurin.

"Cikha... dia baik-baik aja kan, Dek?" tanya Austin dengan nada cemas yang begitu kentara.

Austin tahu jika dirinya bukan lagi kekasih dari gadis yang kini sedang tertidur dengan posisi bersandar di belakang Aurin. Wajah gadis itu memang terlihat pucat dan hal itu membuat Austin sangat khawatir dengan keadaan gadis itu.

Hanya merasa khawatir tidak menjadi sebuah larangan, bukan?

"Dia baik-baik aja, Kak. Cuman... badannya demam, cukup tinggi," ucap Aurin menjelaskan.

Reon yang berada di balik kemudi pun memunculkan wajahnya. "Nggak usah khawatir, dia nggak akan kenapa-napa. Gue rasa dia cuman kecapekan aja, ini gue mau bawa balik ke rumah lo," jelasnya.

Austin mengangguk setuju dengan keputusan yang dipilih Reon. "Iya, bawa pulang aja ke rumah gue."

Kini pandangan Austin tertuju kembali pada Aurin yang berada di sebelah Reon. "Sayang, tolong jagain Cikha, ya..." gumam Austin dengan nada lirih.

Aurin mengangguk pasti. "Iya, Kak. Aku bakal jagain dia kok, tenang aja," ucap Aurin sembari memberikan senyum manis, mencoba memberikan ketenangan pada Austin yang masih terlihat khawatir.

Everything Has Changed [2] : Their HurtWhere stories live. Discover now