empat | bertemu dengan rahasia kehidupan

101 27 25
                                    

12 Januari 2019
London, Inggris.

Alissa Blackhole tidak berhasil, tapi tidak juga gagal.

Dua hari setelah tes berakhir, sebuah surat pemberitahuan dari Sekolah dikirim ke kediaman Blackhole yang berisi tentang pernyataan bahwa total seluruh nilai gadis pirang itu tidak cukup untuk menaikkannya ke tahun yang sama dengan Thomas. Tapi sebagai kebijakan lainnya, Alissa diperbolehkan untuk mengulang tahun kesembilannya yang sempat terhenti beberapa bulan yang lalu secara normal.

Alissa terlihat lebih murung dari biasanya setelah itu. Menghabiskan tiga perempat waktunya dalam kamar sebelum tahun ajaran baru dimulai dan hanya memunculkan diri pada kedua orangtuanya saat jam makan tiba.

Louisa dan William berpendapat bahwa itu adalah suatu hal yang wajar. Kedua Blackhole dewasa itu berpikir bahwa mungkin alasan Alissa mengurung diri adalah karena putri tunggal mereka sedang merasakan kecewa dan sedih karena tidak bisa menyamakan tahun dengan laki-laki berambut hitam bernama Thomas itu. Mereka mencoba untuk mengerti, tetapi tetap berusaha untuk selalu ada seandainya Alissa membutuhkan Louisa dan William untuk bercerita.

Tapi bukan itu alasan sebenarnya.

Karena demi bumi dan seisinya, Alissa hanya butuh waktu sendiri untuk berpikir. Memang ia merasa sedih dan kecewa karena tidak berhasil duduk dalam tahun yang sama dengan Thomas, seseorang yang berhasil meyakinkannya untuk mengikuti tes kenaikan tahun dengan cuma-cuma, tetapi bukan itu hal yang berhasil membuatnya mengurung diri dalam kamar dan terus berpikir sampai Alissa merasa ingin gila.

Kenyataannya, hal ini disebabkan memang oleh Thomas secara personal. Kehadiran Thomas Andrew Redwoods yang tinggal bersama kedua orangtuanya di rumah sebelah berdampak pada sesuatu dalam dirinya yang sudah lama ia anggap tak ada.

Alissa baru menyadari hal ini, tapi sejak hari itu, Thomas berhasil membuat sesuatu dalam dirinya kembali hidup.

Thomas Redwoods membuat harapannya kembali hidup. Thomas membuatnya mulai merasakan banyak hal yang ia kira sudah mati sebelumnya.

Thomas membuatnya kembali merasa hidup.

Setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu, gestur tubuhnya saat Thomas berbicara dengannya, setiap senyuman tipis yang terukir dengan samar di wajah pucatnya, Alissa merasa berbeda. Seperti ada sesuatu yang salah ... tapi apa? Apa yang salah? Atau siapa?

✳✳✳

Terdengar beberapa ketukan di luar pintu kamar, membuat Alissa berhasil menolehkan wajah walau hanya sebentar—sebelum kemudian gadis itu kembali melanjutkan kegiatan melihat-suasana-London melewati jendela kamarnya yang terbuka. Hatinya menjadi sedikit tenang tatkala atensinya menangkap berbagai jenis manusia berlalu lalang, memulai hari dengan sebuah senyuman yang mereka lontarkan kepada satu dengan yang lainnya.

Kemudian sebuah suara setelah ketukan itu berhenti, "Ini aku, Thomas."

Alissa tidak mengacuhkannya.

Lalu Thomas memutuskan untuk masuk. Laki-laki itu melangkah dengan canggung dan berhenti beberapa meter dari tempat Alissa berdiri. "Ibumu menyuruhku langsung menemuimu di kamar. Maaf baru bisa datang sekarang, aku sibuk mempersiapkan diri dengan tahun ajaran baru yang akan segera dimulai."

"Aku sudah mendengar tentang surat pemberitahuan itu, Al."

Alissa memutar tubuhnya menghadap Thomas. Gadis itu melihat kantung mata Thomas yang menghitam, dan wajahnya yang terlihat lebih lesu sejak terakhir kali Alissa melihatnya di hari tes berlangsung. Dan beberapa bekas sayatan benda tajam yang belum kering dipergelangan tangan Thomas yang tertutupi dengan kaus abu-abu berlengan panjang, Alissa tetap bisa melihatnya dari bagian yang tak bisa tertutupi.

Dan untuk yang kedua kalinya, gadis berambut pirang itu memutuskan untuk tidak mengacuhkannya.

"Enyahlah, Thomas." Alissa berkata dengan nada suara yang datar.

"Tidak."

Thomas menghela nafas, "Aku tahu kau kecewa dengan hasil tes itu. Tapi, Al, tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan yang kau inginkan. Ya, kau memang tidak berhasil, tapi kau juga tidak gagal," ada jeda sebentar, "aku sudah berjanji akan membantumu keluar dari lubang hitam itu, dan kau tidak boleh menyerah."

Tak disadari Alissa menahan nafasnya selama beberapa saat. Satu kata yang sengaja ditahannya dari awal terpaksa harus keluar dari bibir merah mudanya hari ini.

"Kenapa?"

Alissa maju beberapa langkah mendekati Thomas. "Kenapa kau peduli, Thomas?

"Aku adalah seorang perempuan yang jahat. Kau tidak perlu memperdulikanku, Redwoods. Aku ini buruk. Aku bahkan masih membenci diriku lebih dari apa pun di dunia ini. Aku punya berbagai pikiran negatif yang bersarang di pikiranku hingga detik ini. Jadi kenapa kau harus peduli padaku? Dan yang lebih membingungkan lagi, kenapa di antara sekian banyak manusia yang masih bernafas di dunia ini, kenapa kau harus menjadi seseorang yang berusaha untuk membantuku memandang kehidupan sebagai sesuatu yang indah?"

Thomas terdiam sesaat sebelum mempersiapkan jawaban yang tepat untuk gadis pirang yang ada di depannya. "Tidak ada manusia yang benar-benar baik atau buruk, Alissa. Kita semuanya sejatinya berwarna abu-abu. Semua manusia pernah membuat kesalahan; terkadang kesalahan itu adalah satu-satunya yang dapat membuat kita tetap menjadi manusia. Tetapi satu kesalahan tidak bisa membuatmu menjadi seseorang yang buruk, dan sebaliknya, satu kebaikan bisa membuatmu menjadi seseorang yang pantas untuk dihargai.

"Jadi tolong berhenti menilai dirimu sendiri sebagai seseorang yang buruk. Karena kau tidak."

Lelaki bernama tengah Andrew itu tahu Alissa akan menanyakan hal ini lambat laun. Semua perilakunya pada sang gadis pirang, mengapa ia sampai repot-repot mau membantu Alissa mendapatkan kembali harapannya yang telah lama mati, mengapa ia mau mengambil tindakan spontan dengan menyelamatkan jiwanya yang sudah berada di ambang kematian, mengapa Thomas peduli. Laki-laki itu tentu punya beberapa alasan untuk hal ini.

Ini bukan waktu yang tepat untuk memberi tahu yang sebenarnya pada Alissa—setidaknya, belum.

Pembicaraan ini membuat kepala Thomas dilanda pening. Ia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya yang sedang berkabut saat ini.

Maka yang dilakukan laki-laki itu selanjutnya adalah berbalik arah menuju pintu sebelum kemudian bertanya dengan sirat kesedihan di dalamnya, "Alissa, sudahkah kau memaafkan dirimu sendiri dengan semua hal yang telah terjadi?"

Dan dengan bagian-bagian hati yang berserakan, Thomas Redwoods berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan Alissa Blackhole sendiri dalam sebuah labirin kehidupan yang nyatanya membingungkan. []

✳✳✳

Um, halo. It's been awhile since the last time i updated this story. Sebenarnya dari awal memasuki kelas 9 semester 2, ibuku sudah menasihati untuk berhenti menulis sementara dan fokus pada ujian mendatang, tapi aku berkilah kalau menulis biasa menjadi salah satu penghilang stres. Realitanya aku memang lagi cukup sibuk dengan kehidupan, dan aku akhirnya bener-bener ... menelantarkan semua cerita dalam akun ini.

Aku sudah menyiapkan plot sampai akhir untuk cerita ini. Mudah-mudahan saja bisa segera ditulis dalam waktu dekat.

Pertanyaanku sejauh ini: apakah kalian bisa menangkap beberapa alasan tersirat to-stay-alive dalam chapter-chapter akhir ini?

5 Reasons to Stay Alive Where stories live. Discover now