satu | cahaya pertama

314 64 19
                                    

25 Desember 2018
London, Inggris.


Orangtua Thomas pernah beberapa kali membahas tentang betapa bodohnya gadis itu-Alissa Blackhole, memutuskan untuk pergi dan menghilang tanpa kabar selama lebih dari setengah tahun, tapi ia tidak pernah serius mendengarkan.

Rumah orangtuanya dan Alissa juga bersebelahan, tapi mereka tidak pernah benar-benar berbicara sampai saat di mana Thomas mendapati Alissa, dengan wajah berlinang air mata, berusaha untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menggunakan sebuah pistol yang entah gadis itu dapatkan dari mana.

"Sudah berapa lama sejak terakhir kali kau menginjakkan kakimu di Gereja, Blackhole?" tanya Thomas membuka pembicaraan.

Hari ini hari minggu. Jalanan juga terlihat sepi, sepertinya orang-orang lebih memilih untuk menikmati secangkir coklat panas sambil merayakan Natal bersama sanak-saudara dibandingkan dengan berkeliaran dibagian bumi yang sedang memasuki musim salju ini.

Alissa mengeratkan syal berwarna biru tua yang melingkar manis dilehernya, "Uh, mungkin sekitar sepuluh bulan yang lalu. Kupikir aku selalu memiliki alasan yang bagus untuk menolak ajakan orangtuaku berdoa dalam Gereja," ungkapnya dengan pandangan menerawang.

Thomas mengangguk singkat, sedangkan Alissa memutuskan untuk mengunci mulutnya selama beberapa saat. Sambil menikmati suasana yang dipenuhi burung-burung kecil berceloteh dan tawa yang bisa ia dengar dari beberapa rumah yang dilewatinya juga membuat hatinya mendapat sedikit kehangatan setelah menghabiskan beberapa jam untuk menangis dalam diam.

Tapi setelah beberapa lama membisu, Thomas berhenti berjalan dan akhirnya kembali membuka percakapan di antara mereka. "Kurasa ini adalah tempat yang kumaksud."

Alissa bergantian memandang sebuah Gereja yang ada di depan mereka dan Thomas dengan tak percaya.

"Gereja, Redwoods? Apa kau serius?"

Gadis berambut pirang itu tidak menyangka Thomas akan membawanya ke tempat ibadah ini. Maksudnya, tentu saja sudah melihat sebuah Gereja dikejauhan melalui iris coklat tuanya, tapi Alissa tidak mengira Thomas akan memberhentikan langkahnya tepat di depan sebuah Gereja di tengah kota dan berkata bahwa tempat inilah yang laki-laki itu maksud.

Tapi di sisi lain, gadis itu berdecak kagum tentang bagaimana indahnya orang-orang menghias Gereja saat Natal tiba. Alissa juga menyadari kalau sepertinya ia melewatkan banyak hal baru selama beberapa bulan terakhir ini.

"Thomas." Alissa menghela napas, bersiap untuk memprotes. Tapi ia terlebih dahulu ingin melihat pemuda yang ada di sampingnya untuk melihat reaksi Thomas ketika Alissa memanggilnya dengan nama depan-tapi sepertinya Thomas sama sekali tidak keberatan.

"Apa maksudmu membawaku ke sini?"

Thomas tersenyum tipis. Bahkan Alissa bisa melihat bagaimana senyum laki-laki ini terlihat sangat mengejukkan walau hanya dari sisi samping. "Masuk dan berdoalah, Alissa."

Ini adalah kali pertama Alissa mendengar Thomas memanggilnya dengan nama depan gadis itu. "Aku dan orang tuaku sudah lebih dulu menginjakkan kaki di Gereja pagi tadi. Mereka juga tidak menerapkan jam ibadah untuk hari ini, jadi kau bisa bebas masuk dan berdoa untuk menghabiskan beberapa jam ke depan -jika kau ingin- di dalam. Aku akan menunggu di sini." Thomas membuat keputusan bahkan sebelum Alissa dapat menolak.

Lagi pula ia sudah memakai pakaian yang cukup tebal, jadi Thomas merasa tidak apa-apa jika memang harus menunggu si teras Gereja.

Thomas tahu Alissa tidak akan bebas berdoa jika ia temani dan tidak ingin juga menganggu waktu Alissa dengan Tuhan mereka.

Tapi akhirnya gadis itu mengangguk, masih tetap terlihat tidak yakin. Maksudnya, setelah beberapa bulan ia habiskan dengan pura-pura melupakan Tuhan menganggap semua ini adalah omong kosong belaka, dan sekarang . . . Apa Tuhan masih mau memaafkan atas semua hal-hal buruk yang telah ia lakukan dan mengizinkannya kembali berdoa seperti sedia kala?

Thomas melihat raut wajah Alissa dan mengerti. Maka yang selanjutnya ia lakukan adalah menarik tangan Alissa memasuki lingkungan sekitar tempat ibadah mereka seraya menggumamkan kata 'ayolah' dan kemudian kembali keluar setelah melihat gadis itu berjalan ke dalam Gereja.

Laki-laki itu menunggu selama beberapa puluh menit sebelum akhirnya sang gadis pirang terlihat berjalan keluar dari dalam Gereja dan kemudian berlari kecil ke arahnya dengan air mata yang bercucuran.

"H-hei," sapanya ketika sampai. Thomas memberikan sebuah sapu tangan yang diterima Alissa dengan tangan yang bergetar.

Sesaat kemudian Thomas tersenyum lebar. Ia sudah memperkirakan gadis itu akan kembali dengan keadaan seperti ini. "Bagaimana perasaanmu?"

Alissa menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan sebelum menjawab. Sensasi itu masih sangat terasa di dalam tubuhnya, mengalir dalam sel-sel yang kemudian menyebar ke semua arah di saat yang bersamaan.

"Luar biasa."

Lalu untuk yang pertama kalinya juga, Thomas menarik dan menggenggam tangannya, tapi sebelum itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa beberapa sentuhan fisik tidak akan berpengaruh apa pun pada hatinya dan gadis itu.

Berjalan membawa gadis itu pulang kembali ke kediaman Blackhole, Thomas menoleh dan melihat Alissa yang juga sedang menatapnya dengan cukup intens.

"Apa yang sebenarnya sedang kau coba beritahu, Thomas?"

"Kau tahu, Alissa," mulai laki-laki itu. "Alasan pertama untuk tetap bertahan hidup adalah; selalu mengingatkan diri kalau Tuhan, sang pencipta alam semesta itu ada dan tidak akan senang jika kau, yang merupakan salah satu ciptaan-Nya melakukan hal buruk yang kau sebut sebagai bunuh diri. Meski pun kau tidak sepersen pun mencintai dirimu, selalu ingat bahwa Tuhan mencintaimu lebih dari yang lain. Bahkan orang tuamu sendiri."

Tidak ada sahutan. Alissa sedang sibuk berusaha mencerna hal-hal yang diucapkan Thomas.

"Selain itu, Tuhan selalu memaafkan segala perbuatan buruk yang kau perbuat selama kau menyesal dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Tentu saja kau adalah seorang manusia biasa yang selalu mengulang kesalahan berkali-kali sepanjang hidupmu," ada jeda sebentar, "tapi berusaha untuk memperbaiki hal-hal buruk yang sudah terjadi; mengubah sebuah kesalahan itu menjadi sebuah keajaiban yang indah juga bukanlah sebuah larangan." []

✳✳✳

Semoga chapter ini bisa bermanfaat. Terima kasih!


5 Reasons to Stay Alive Where stories live. Discover now