Sixth Dare

3.7K 182 2
                                    

Dua puluh lima..

Dua puluh enam..

Dua puluh tujuh..

Dua puluh delapan...

Dua puluh sembilan..

Tiga puluh..

Tiga puluh satu..

“Ck. Arrgghh,” aku berdecak kesal. Sudah lebih dari tiga puluh hitungan, tapi mataku tetap tidak dapat terpejam. Rasa pusing yang terus menyerang juga membuatku kesulitan untuk tertidur.

Aku memutar tubuhku ke arah kanan. Mencari posisi yang cukup nyaman. Entah sudah berapa lama sejak Rendi meninggalkan ruangan ini. Kini, hanya ada aku dan pikiranku yang melayang ke kejadian beberapa hari terakhir. Rasa mual kembali menderaku saat gambaran-gambaran kejadian memalukan itu muncul dibenakku.

Ayolah! Lo udah janji buat ngelupain semua itu. Haruskah lo nginget-nginget hal itu, batinku.

Aku kembali mengubah posisiku, kembali menatap langit-langit. Keheningan di sekitarku, cukup menganggu. Aku tidak terlalu suka dengan suasana seperti ini. Hening, tidak ada yang berbicara. Tidak ada tawa ataupun canda.

Aku benci dengan keheningan ini.

Hanya ada deru mesin AC dan detak jarum jam yang menggema di setiap sudut ruangan. Suasana yang nyama untuk beristirahat. Tapi tidak untukku. Tidak untuk saat ini. Jajaran kasur yang dibatasi tirai tipis diantaranya, ditambah bau obat-obatan membuatku merasa seperti berada di rumah sakit. Setelah beberapa lama aku kesini, baru kali ini aku menyadari seberapa mirip ruangan ini dengan rumah sakit.

“SAVIRRRRR,,,” suara yang tak asing memekakkan telinga. Membuatku kembali ke dunia nyata. Oca datang.

Aku menghela nafas lega. “Thanks god.. Finally lo dateng juga. Gue ngga bisa tidur nih, mana pala gue pusing banget.”

Oca menaikkan salah satu alisnya. “Terus masalah buat gue?” Nahkan kumat. Tadi dia khawatir banget, sekarang nyebelin banget. Cobaan apa lagi coba, hingga aku bisa memiliki teman seeror dia.

“Ocaaa!”

Dia mulai terkekeh. Itu sama sekali tidak lucu. Malah sangat amat menyebalkan. “Nggak usah bete gitu kali. Gue kesini cuma mau mampir. Nih tas lo!” Oca meletakkan tasku di meja dekat pintu masuk tempat diamana Rendi menghabiskan waktunya mengecek buku tamu UKS, tadi. “Gue langsung cabut ya. Nggak bisa lama-lama nih. Pak Toya-guru paling killer- udah nungguin.” Oca langsung beranjak keluar.

Tepat saat dia berada di ambang pintu, dia memberikan sebuah ciuman jarak jauh yang amat sangat menjijikkan. Demi apapun, tidak ada yang ingin melihatnnya melakukan itu.

Iyakkss.

Menjijikkan.

Aku langsung melempar bantal ke arahnya. Dengan sigap, dia menghindar tapi bantal yang kulampar berhasil mengenainya. Mengenai seseorang pastinya.Dari luar ruang UKS terdengar suara geraman seseroang. “Apaan sih?” suara rendahnya terdengar begitu jengkel.

Wait, suara rendah? Aku menegakkan tubuhku dan bersandar pada tembok di belakangku agar dapat melihat orang kurang beruntung itu. Hingga ia bisa terkena lemparan bantalku.

Rendi.

“Shit,” umpatku.

“Lo tuh ngapain sih? emang lo mau, disuruh nyuci bantal ini?” aku menggeleng pelan dan menunduk. Rasanya seperti aku baru saja kepergok menyontek–padahal selama ini aku belum pernah ketahuan- oleh pak Toya. “Kalo nggak? Ngapain lo lempar?” Aku kembali diam. Kata-katanya membuat sekujur tubuhku membeku. Bisa kurasakan semburat merah muncul di wajahku. Bukan karena aku tersipu, bukan. Tapi karena malu. Lagi-lagi ini terulang.

“Sorry,” ucapku, nyaris seperti sebuah bisikan. Aku terus menatap kebawah, sama sekali tak berani menatap wajahnya, maupun matanya.

Kudengar Rendi menghela nafas berat. “Nyokap lo nyariin.”

“Dimana?” Rendi tidak menjawab, seolah itu adalah pertanyaan bodoh yang pernah didengarnya. Oke, aku memang bodoh.

Aku melihat ke balik bahunya. Beberapa langkah dibelangkanya, mamaku berjalan sedikit tergesa-gesa. Aku sangat bersyukur melihat kedatangannya. Senyum bahagia terukir di wajahku. “Ma____”

“Kamu tuh ya! Kalo emang sakit, harusnya istirahat aja di rumah,” sembur mamaku tercinta. Aku cemberut mendengar ocehannya yang tidak jauh berbeda dengan Oca. Kadang aku berpikir, apa aku tidak tertukar dengan Oca sewaktu di rumah sakit?

“Tapi Ma, tadi aku baik-baik aja kok. Mama juga liat kan,”sanggahku.

“Baik apanya dan bla bla bla,” mamaku terus mengoceh tanpa jeda hingga seseorang menghentikannya. Kemudian terdengar dehaman dari seseorang. Rendi. Sejak mamaku mengoceh tadi, Rendi masih ada di depan pintu. Dan pastinya dia juga ikut mendengarkan ocehan mamaku yang panjang kali lebar.

Rendi tersenyum ala kadarnya. Sekadar sopan santun. “Kalo gitu saya balik ke kelas dulu,”pamitnya.

“Bentar,”cegah mamaku. “Kamu tolong temenin Sa disini ya! Tante mau ketemu wali kelasnya dulu.”

“Apaan sih Ma? Emang aku anak kecil pake dijagain?”

“Udah orang sakit nggak usah protes!” perintah mamaku lagi. “Maukan?” pintanya dengan lembut. Jauh berbeda dengan saat dia berbicara padaku. Sungguh terlalu mamaku ini.

Rendi melirik jam tangannya, lalu  menimbang-nimbang. “Bisa kok,”jawabnya.

Seharusnya aku bahagiakan? Tapi aku sama sekali tidak bahagia. Yang ada aku malah merasa panik. Dan berpikir kebodohan apalagi yang akan kuperbuat dihadapanya. Thanks to my mom. Karenanya gue bakal terjebak dalam suasana mencekam. Lagi.

“Bagus kalo gitu. Tante titip Sa dulu ya,” dan mamaku pergi begitu saja. Meninggalkanku dan Rendi. Lagi.

Rendi beranjak masuk lalu duduk di tempat yang tadi di dudukinya. Suasana kembali hening. Terdengar suara ketukan kaki, sepertinya itu dia. Nampaknya Rendi merasa bosan. Aku sama sekali tidak berani menyapanya ataupun mengajaknya berbicara lebih dahulu.

“Kenapa lo bisa pingsan?”suaranya mengangetkanku.

“Apa?” tanyaku. Dan aku sangat menyesali pertanyaanku itu.

“Gue bilang, kenapa lo bisa pingsan? Lo nggak sarapan?”

“Sarapan kok. Cuma, tadi pagi emang kepala gue rada pusing.”

“Kalo udah tahu sakit, harusnya lo nggak usah ikut upacara. Ngerepotin aja.”

Perkataannya barusan cukup membuatku jengkel. Aku tidak memintanya untuk menolongku bukan? “Gue nggak minta lo buat gendong gue.”

Rendi menoleh ke arahku. Sial. Ingin sekali rasanya menarik kata-kataku barusan. Sayangnya sudah terlambat. “Sialnya, gue yang lagi tugas. Itu artinya gue yang harus nolong lo. Dan lo nggak bisa dibilang enteng.”

Aku terdiam. Malu, pasti. Apalagi secara tidak langsung Rendi baru saja menyebutku gendut. “Sorry,”bisikku.

“Nggak ada kosa kata lain?” Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Setelah itu, tidak ada diantara kami yang membuka suara. Kembali ke posisi awal. 

Diam. Hening.


Sorry gue baru bisa update. Beberapa hari terakhir gue rada kurang enak badan. Mohon pengertiannya. #curcol

Makasih buat yg udah ngevote dan kommen. Jangan lupa isi absen lagi..

Thanks. .-.

T.O.DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang