#22 Stop

2K 234 35
                                    


Wanita itu kelihatan baik-baik saja dari tempat Trevin berdiri saat ini. Dia memotong rambutnya menjadi sebatas bahu. Membiarkannya terurai dengan bando berpita sebagai aksesoris. Dandanannya terlihat biasa bagi Trevin. Hanya lipstick merah yang tampak mencolok di permukaan wajahnya. Dia mengenakan kemeja polos berwarna putih, dipadankan dengan ripped jeans warna biru.

Dia duduk di sofa panjang- diapit dua orang- sedang menjawab pertanyaan yang diajukan salah satu pembaca dengan begitu santai. Trevin berdiri diam di sana, memerhatikan. Bagaimana dia menjelaskan dengan suara yang begitu tenang, kemudian disambut tawa pengunjung. Trevin seperti dipaku di tempatnya. Saat perempuan itu memutar mikrofon, menjelaskan dengan jemarinya, atau saat dia menyisir rambut pendeknya sambil lalu.

"Mbak Narin, novel ini berdasarkan pengalaman nyata, apa kesulitannya saat menjadikan ini sebagai bentuk fiksi?"

"Kesulitannya jelas menggambarkan emosi dan ketakutan yang mencekam lewat kata-kata. Lewat 26 huruf di atas keyboard. Bagaimana menggambarkan bau darah, bunyi peluru yang terlepas dari selongsongnya, juga perasaan takut kehilangan. Itu bagian yang paling sulit. Saat membangun emosi untuk kalian yang tidak pernah merasakan apa yang dialami oleh si pencerita di dalam cerita ini. Ada banyak, tapi saya rasa itu yang paling menonjol, karena saya tak ingin kehilangan bentuk asli dari yang sebenarnya." terangnya. "Saya kesulitan memilih padanan kata yang tepat saat tokoh utama merasa takut, tapi juga marah pada saat yang bersamaan. Bagaimana menjelaskan apa yang hanya ada di dalam hati, tapi kalian harus tahu apa yang dia rasakan. Hampir sama saja saat kita membuat cerita fiksi yang ada di dalam imajinasi kita, hanya saja sekali lagi, ada esensi nyata yang harus saya hidupkan dalam novel ini!"

"Waw, saya rasa kita semua setuju pada penjelasan tadi. Ada banyak hal yang membuat kita geram saat membacanya. Baik, pertanyaan lainnya?"

Seseorang mengangkat tangannya.

"Apa anda mengira novel ini akan meledak?"

Perempuan itu tertawa ringan, lalu menggeleng. Dia menyisir rambutnya lagi lalu berdeham. "Saya tak punya prediksi kalau novel ini akan jadi seramai ini. Kalau boleh jujur, novel ini tercipta lantaran saya benar-benar kehabisan ide. You know, kepepet. Deadline dengan penerbit, editor dan lainnya. So, the idea came up like a burst light. Terima kasih. Dan jika jadi meledak seperti ini, saya tak pernah menyangka. Saya kira, first draft saya malah akan ditolak waktu saya ajukan. Tapi, entahlah. Mungkin kalian bisa tanya editor saya langsung. Ini novel tercepat yang saya selesaikan. Nggak sampai sebulan, saya juga nggak percaya." dia tertawa lagi.

Trevin menelan ludah, lalu mengangkat tangannya saat moderator bertanya ada lagi yang ingin bertanya.

"Baik, silahkan lelaki yang di belakang,"

Trevin tak memerhatikan siapa yang memberinya mikrofon, yang jelas kini dia mendapatkan perhatian beberapa orang yang ada di sana, termasuk si bintang utama. Perempuan itu menegakkan tubuhnya.

"Silahkan pertanyaannya,"

"I missed my flight already," kata Trevin membuka pembicaraannya. "Saya tidak membaca buku anda, tidak sampai tamat. Ada beberapa bagian yang saya skip. Bisa anda ceritakan apa yang terjadi di akhir cerita?"

Beberapa orang bereaksi dengan pertanyaan Trevin. Suara celetukan tentang bagaimana kisah dalam novel ini berakhir didengarnya dari beberapa potongan suara di dekatnya.

"Nades." ujarnya. "Seems you enjoyed your life so much, huh?"

"Terima kasih pertanyaannya." potong Nades. "Akhir dari cerita ini adalah kedua tokohnya sampai di pesta pernikahan teman mereka, tapi mereka berdua tidak berhasil. Saya tidak bisa membuat akhir yang bahagia. Happiness is expensive!" jawab Nades.

On The Way To The WeddingWhere stories live. Discover now