3. Kedai Ice Cream

1.1K 101 0
                                    

                 Dikha baru saja kembali dari sparing futsal bersama teman - teman kelasnya. Baru saja ia menapakan kakinya di ruang tamu telinganya sudah menangkap suara perempuan.

"Kerjaannya futsal terus.. kapan kamu belajar yang bener, kapan sih kamu kayak kakak kamu Dafhi, dia selalu peringkat satu pararel sewaktu sekolah dulu. Lah kamu kapan mau kayak gitu? Kerjaan kamu cuma futsal dan bikin onar sama temen - temen kamu yang gak jelas" omel wanita berusia 40 tahunan.

"Berhenti banding - bandingin Dikha sama Dafhi. Dikha beda sama dia. Lagipula peduli apa toh daridulu juga mama selalu mementingkan Dafhi kan?" Dikha sedang tak ingin berdebat sekarang. Ia segera menuju tangga agar ia bisa sampai ke kamarnya yang berada di lantai 2.

"Dikha mama sedang bicara!" itulah kalimat terakhir yang ia dengar sebelum ia masuk ke kamar bernuansa abu - abu dan biru dongker lalu mengunci pintunya.

Ia melempar tas nya ke atas sofa yang berada di dekat jendela.
Dikha melepaskan jaket yang melapisi jersey futsalnya.

                Dikha melangkahkan kakinya ke pintu kaca yang menuju balkon. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang ia letakan di besi pembatas. Tubuh dan fikirannya lelah.

                 Hubungan Dikha dan ibunya memang seperti itu dari dulu. Tak pernah akur. Ibunya hanya mementingkan Dafhi, Dafhi dan Dafhi, selalu saja dirinya dibanding - bandingkan dengan kakak kandungnya itu.

                Saat Sedang asik menikmati angin dan juga pemandangan langit jingga di sore itu, kepalanya terasa berdenyut kencang, tangannya meremas besi pembatas balkon guna menopang tubuhnya yang serasa ingin limbung. Keringat dingin telah mengucur. Matanya mengerjap berkali - kali.

                Rasanya sama persis ketika ia dihukum karena tidak membawa baju olahraga.

"Arrghh" setetes cairan kental berwarna merah jatuh ke atas lantai balkon yang berwarna abu - abu tua.

Akhir - akhir ini rasa sakit di kepala nya itu selalu menyerang Dikha.

                    Dikha mencoba masuk kedalam kamarnya sambil terus mencari pegangan untuk menopang tubuhnya yang terasa sangat berat. Ia harus segera pergi ke kamar mandi, karena darah yang keluar dari lubang hidungnya tak kunjung berhenti.

                    Setelah sampai di dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, Dikha berjongkok, punggungnya bersandar pada pintu toilet.

                     Tangannya meremas rambut tebalnya. Rasa sakit itu belum hilang juga. Dikha bangun dan menatap dirinya di cermin westafel. Wajahnya sangat pucat, bibir merahnya pun sudah berubah warna serupa dengan kulit wajahnya. Matanya berair. Dikha menyalakan keran westafel, ia membasuh hidungnya. Kini keramik westafel yang berwarna putih sudah ternodai dengan cairan kental berwarna merah itu.

                      Dikha memejamkan matanya beberapa saat dan kembali membukanya, ia bersyukur rasa sakit di kepalanya sudah membaik. Ia membasuh wajahnya sekali lagi dan mengeringkan nya dengan handuk kecil.

                      Ia keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi kasur. Dikha meraih gelas air mineral yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya.
Kini ia merasa lebih baik. Dikha membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Ia penat dan butuh

~~~

                      Dara terus mengunyah pop corn tanpa henti. Sekarang ia duduk di sofa ruang keluarganya. Matanya tak lepas dari televisi yang menayangkan film Teen Wolf.

TraumeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang