"Mas, Bang, cabut yuk! Laper nih gue." Henry udah berdiri, diikutin lainya.

"Kemana?" -Nemo.

"Studio aja gimana? Dari pada nggak jelas disini. Katanya lu ada lirik baru? Tapi makan dulu, gue masakin."

"Oke."




÷÷÷÷÷÷




Beda orang beda suasana hati. Kalo si Ukie lagi nggak jelas, Nara justru punya kegiatan terencana. Dari bangun tidur sampe mau tidur.

Hari ini setelah kelar kuliah Nara sama Naomi duduk anteng di perpustakaan kota. Tapi sebelum itu mereka udah ke mall dulu buat berburu novel. Dua sohib itu emang punya hobi yang sama. Baca dan kolektor novel.

Bie sama Joshua nggak ikut. Joshua nggak tau kemana, kalo Bie disuruh pulang karna dirumah lagi ada acara arisan keluarga.

Udah sore ini, nyaris jam lima. Diluar masih cerah, bahkan suasana macem masih jam tiga siang. Duduk adepan dan sama sekali nggak ngobrol.

Novelnya ditutup rapi. Naomi nopang dagu natep sohibnya yang masih serius baca. "Na?"

"Hng?"

"Kok lu anteng begini sih?" Naomi bingung sumpah sama temenya yang satu ini.

Nara ngernyit bingung, ikut nutup bukunya setelah ditandain. "Kan lagi baca. Masa teriak-teriak?"

"Ck, maksud gue kenapa lu seanteng ini jauh dari pacar? Nggak ada ngeluh kangen sama sekali."

"Udah biasa gue mah."

"Kok bisa?"

Nara senyum bentar, liat keluar jendela natepin langit sore yang super cerah kaya hatinya. "Gue sih sante, Mi. Kan gue biasa dikacang. Ada juga Ukie yang uring-uringan. Dia sibuk lho, nggak selalu bales chat gue, tapi gue selalu chat dia."

Naomi ikutan senyum. "Oh, jadi lagi ngerjain Mas Ukie ceritanya?"

"Anggep aja gitu. Kata Ibu gue harus sedikit tega biar Ukie nggak semena-mena lagi. Hehehe.. Tapi sebenernya gue kepikiran juga sih." tiba-tiba kesayangan Mas Ukie diem. Sedikit murung.

"Kenapa?"

"Ukie kan teledor, dia kalo stres susah makan. Emang nggak gampang sakit orangnya, tapi kalo dia makin kurus gimana? Abis badan dia nanti."

Naomi gemes sebenernya. Dia nggak ngerti jalan pikiran Nara. Mas Ukie emang pinter, ganteng, kriteria lah kalo secara fisik, tapi kan cowok itu super cuek. Bahkan kadang - seringnya kalo bukan Nara dulu yang inisiatif si Mas-nya nggak bakal peka.

"Kok lu bisa sayang gitu sama dia?"

Ketawa geli dulu si Nara sebelum jawab. "Nggak tau. Sayang mah sayang aja, Mi. Sayang pake alesan bukan sayang namanya, pamrih."

"Tapi semua hal di dunia nggak ada yang nggak pake alesan, Na." ngeyelnya Naomi.

"Gitu?" jawabanya anggukan kepala. "Apa ya? Mungkin gue uda nyaman sama dia. Dia itu manis kalo dibelakang layar."

"Masa? Nggak percaya gue."

Tau? Pipinya ada yang merah gara-gara inget insiden dimobil sebelum masa hukuman. Ya, ciuman.

"Kok pipi lu merah?" nah, hawa-hawanya ada yang gemes pengen ngeledek nih. "Kenapa? Cerita dong!"

Nara senyum malu di tanya kegirangan sama Naomi. "Bukan konsumsi publik."

Makin gencar si Naomi, apalagi liat Nara mulai salah tingkah. Dicoleklah dagunya. "Ey, cerita sih. Berbagi kebahagiaan itu dapet pahala, lho."

Diem bentar, mikir dulu kira-kira bagusnya cerita apa nggak ya?

FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang