a little hope

142 21 13
                                    

"Aku tak akan mencari setelah menemukan. Dan tak akan berlari setelah mendapatkan."
-Irshandy Stefandy

"-Irshandy Stefandy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☀☀☀

"Masih berapa segment lagi nangisnya?" tanya Shandy setelah menengok arloji di tangannya.

Aku menepuk bahu Shandy di sebelahku. Masih berusaha meredakan tangisku sendiri. Meski pandanganku terlihat kabur, namun aku tahu jika langit sudah semakin terang dan terlihat birunya.

Kami kerap ke sini hampir setiap hari libur. Namun baru kali ini kami menghabiskan waktu berdua sangat lama. Sejak jingga terlihat di hadapan kami--seberang danau ini--hingga jingga berpindah ke belakang tubuh kami. Tak ada yang terlelap atau mengantuk. Hanya tiga jam untuk kita bercanda, beberapa menit untuk Shandy beranjak shalat ke masjid, mencari makan dan sisanya untuk menceritakan masalahku dan menangis.

Tak pernah ada sesuatu lebih yang kita lakukan meski hanya berdua. Bibir ini hanya untuk berbicara, tertawa atau saling meledek. Mata ini untuk saling memandang seperlunya. Dan kedua tangan untuk saling baku hantam, lebih seringnya tanganku--jika Shandy butuh. Sementara kedua tangan Shandy hanya bertugas menghindar, mencubit pipiku, memainkan rambutku saat aku bercerita atau menyeka air mataku. Tak pernah ia melakukan hal di luar batas.

"Melshanrise," panggil Shandy lembut.

Sebutan itu sudah lama ia sematkan semenjak kita sering ketemu setiap fajar untuk maraton dan beristirahat untuk melihat jingga pagi. Sementara aku menyebutnya Shandset. Jingga yang kusukai yang ada di senja hari.

"Kamu gak capek?" Kini dia bergerak menyingkirkan poni yang menutupi sebagian wajahku untuk diletakkan ke belakang telinga. "Kamu pucet banget lo. Mukamu udah merah kayak apel busuk tau."

Aku mendengus sebal. "Kok apel busuk sih. Jelek amat perumpamaannya," ujarku dengan suara yang parau. "Iya tahu. Sekarang kamu banyak yang naksir. Hampir tiap hari dikasih surat cinta dari adik kelas."

Shandy tersenyum sambil mengacak puncak kepalaku dengan ekspresi gemas. "Kok jadi bawa-bawa itu sih."

"Emang bener kan?" ketusku. "Paling bentar lagu kamu bakal kepincut sama Nayla si kapten cheerleaders SMA Merah Putih."

Shandy menarik daguku untuk menghadapnya menggunakan telunjuknya. "Kamu mau itu terjadi?"

Aku menepis tangannya dan masih menampakkan raut kekesalanku. "Terserah. Cukup tahu aja kalau yang diomongin Gibran itu bener kalau kamu deket sama tu cewek."

Shandy tertawa geli. "Pasrah amat. Kamu tu lagi capek jadi pikirannya gak karuan." Dia bangkit dan mengulurkan tangannya. "Ayo pulang!"

Aku membalas uluran tangan itu dan mulai ikut melangkah di sisinya. "Jangan sampai terjadi ya, Shan?"

"Tenangin pikiran kamu, Mel."

Aku menunduk dan makin mengeratkan genggaman tangan itu. "Sampai kapan pun aku gak akan siap," gumamku dengan suara yang mulai bergetar. Dadaku tiba-tiba sesak kembali.

Between Sunset and SunriseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang