-13.2-

27.5K 3.8K 141
                                    

Aku mengambil handycam bang Gandi dari dalam tas. Kami kebagian lantai dua kapal, karena pada hari libur banyak pengunjung yang datang ke Danau Toba, dan pemilik kapal nggak mengizinkan satu kapal di booking. Jadi, hanya lantai dua kapal ini yang diijinkan. Aku sempat bisik ke Bang Gandi, berapa dia bayar sewa. Dia nggak jawab, cuma nyengir sambil bilang, buat sekali seumur hidup nggak boleh nyesal.

Bang Gandi noleh ke arahku yang duduk lima kursi di belakangnya. Aji masih di bawah, ketahan karena bawa hadiah yang memang semestinya jadi kejutan buat Kak Dhina. Dan, sepanjang lima menit berlalu aku harus puas disuguhi pemandangan yang... eh, rasanya pengen geret Bang El ke sini dan sandaran di pundaknya kayak yang Kak Dhina lakukan. Untung perasaan iri yang berputar-putar di perut sedikit bisa terobati dengan pemandangan danau.

Bang Gandi mulai berdiri, Kak Dhina keliatan kebingungan sementara aku siap mengambil ponsel dan mengirim pesan ke Aji.

Kak Dhina semakin dibuat heran dengan Bang Gandi berdiri di tengah kapal yang tak tertutup tenda. Kak Dhina mulai melayangkan pertanyaan, sementara Bang Gandi nggak gubris, dan justru ambil secarik kertas dari saku kemejanya. Aku berdiri siap menyoroti momen penting yang kata Bang Gandi nggak boleh kelewat sedetik pun. Tega amat!

"Ngapain sih Yank!"

Kak Dhina mulai ngambek.

Bang Gandi mengisyaratkan dengan telunjuknya untuk tetap diam. "Untuk kali ini jangan protes sampai aku selesai ngomong, ya," kata Bang Gandi.

Tapi, tak lantas terharu dengan kalimat pembuka Bang Gandi. Aku justru menoleh ke arah belakang, tepat ke langkah kaki yang menyita perhatian. Mataku sulit kedip. Aji dengan menjinjing kotak hadiah sebelah kanan dan buket bunga warna pink di tangan kiri malah buat kerja jantungku nggak normal.

Aku butuh asupan oksigen lebih banyak. Sekelilingku berubah kosong dan membayangkan di sini cuma ada aku dan dia...

Aku menggeleng kuat kepalaku. Pikiran liar ini udah kemana-mana dan harus segera di enyahkan.

"Kok geleng-geleng?" Kata Aji setelah berhasil mendekat. "Salah momen ya? Harusnya aku naik lebih lama?"

Aku bengong. Persis orang bego pasti. Bukan jawab aku malah ngangguk.

"Oh, jadi balik lagi ya?"

"Eh... bukan!" sial aku malah teriak.

"Aji bawa apaan?!" itu suara kak Dhina terdengar malah lebih penasaran dengan apa yang terjadi di antara kami. Aku noleh dan lirikan tajam Bang Gandi langsung mengarah.

Untung Bang Gandi lebih sigap buat narik tangan kak Dhina. "Aku mau hari ini jadi momen spesial kita!" kata Bang Gandi dengan suara keras, nggak ada romantis-romantisnya. Mungkin efek emosi tertahan.

"Ih... kok jadi bentak aku sih Yank."

Mampus! Bang Gandi malah semakin mendelik ke arahku.

"Bukan.. Hm... Gini. Aku persiapin ini dengan pemikiran matang. Sampe... Sampe... " Bang Gandi buka secarik kertas yang dikeluarkannya tadi.

"Nggak di videoin," bisik Aji melihat ke arah handycam yang kupegang.

Aku gelagapan. Langsung menghidupkan dan mengarahkan ke pasangan sesungguhnya. Aji malah meletakkan hadiah ke kursi dan mengambil kameranya sendiri dari dalam tas kecil yang disandangnya. Dia mengalungkan temali kamera ke leher dan siap membidik. Astagah... kenapa sih pemandangan Aji lebih menarik! Aku pernah bilang nggak sih, ini anak pake kaos oblong aja auranya beda. Aku kira dulu karena dia orang berada, nyatanya nggak juga. Ino, temenku SMA, yang anak pejabat, tetep dekil.

Haduh kenapa jadi banding-bandingin orang... Fokus Dhini... Fokus!

Bang Gandi baru menyelesaikan kata-kata puitisnya, yang aku yakin banget dia copy paste dari google. Tapi, berhasil buat mata Kak Dhina berbinar.

False HopeWhere stories live. Discover now