-5- Balikan Yuk!

38.3K 4.8K 165
                                    

Aku meringis melihat ke arah kakiku yang bengkak. Lewat sehari-setelah aku pikir nyut-nyutan luar biasa dengan luka di mata kaki yang nggak besar-besar amat-sakitnya makin mereda, nyatanya ini kaki tambah parah.

"Itu si Dini jalan udah kayak suster ngesot."

Sial, itu suara Kak Dhina di luar kamar kedengeran sama ini telinga. Suster ngesot? Cuma telapak kaki kanan doang yang ngesot bukan bokong, woy!

Aku yang masih setia berada di atas kasur pengin nampol muka kak Dhina pake bantal. Namun niatan bubar jalan, ngeliat Kak Dhina jalan gandengan sama Bang Gandi.

Kalo kesampaian aku lempar Kak Dhina bisa-bisa nggak dapet duit jajan lagi dari Bang Gandi. Kak Dhina taruh bungkusan ke atas nakas, aku udah lirik-lirik aja, penasaran. "Tuh, dapet oleh-oleh dari Hongkong."

Aku kontan melengkungkan senyum. Bang Gandi memang baik banget, nggak pernah lupa kasih oleh-oleh kalo lagi keluar kota.

"Kok bisa seruduk tiang Ni?"

Aduh, tolong jangan kasih pertanyaan itu lagi, itu lagi. Udah berapa kali orang yang dateng nggak tetangga samping rumah, nggak itu sepupu kutu kupret, nanyanya itu mulu. "Ya, bisa bang. Namanya musibah bisa datang kapan aja, nggak liat gimana cara eksekusinya juga. Kayak orang bisa mati karena keselek tulang. Kok bisa? ya bisa-bisa aja, kenapa juga harus nggak bisa." Oke jawabanku udah ngelantur kemana-mana karena senewen.

Kak Dhina malah cekikikan, "udah yank, nggak usah diganggu. Dasar dari lahir sensi, sekarang tambah sensi."

"Oh gitu. Iya, iya deh. Cepet sembuh ya Ni." Bang Gandi nepuk pelan kepalaku. Kalo nggak liat fisik Bang Gandi ini tipe yang ngemong banget. Harus diakui banget Kak Dhina memang beruntung. Dan aku yang buntung karena sampe sekarang belum nemu-nemu. Limited edition kali ya, yang modelan kayak gini.

Kak Dhina ngajak Bang Gandi keluar, bagus deh, dari pada aku liat tampang sengak Kak Dhina yang sok manja-manjaan.

Tapi, ketenanganku nggak bertahan lama kayaknya. Karena Mona nongol dengan plastik di tangannya. Iya sih, tadi dia udah ngabarin mau kesini.

"Kamu nggak sama Bang Fadli kan?"

"Nggak loh. Nggak..." sahut Mona mempertegas. Kalo dia dateng bareng Bang Fadli dan mesra-mesraan kayak Kak Dhina tadi langsung aku suruh pulang.

"Ih ... Dhini, kok bisa bengkak parah gini."

Aku tau ekspresi Mona terlalu berlebihan, bahkan sebelum kunjungannya kesini dia sempat mau bawa peralatan dokternya yang entah apa itu. Mau coba periksa, sekalian jadiin aku kelinci percobaan mungkin. Kontan aja aku tolak, ini anak masih belajar teori-teori tanpa tedeng aling-aling mau praktik. Bisa jadi korban malapraktik duluan akunya.

"Serius jatoh karena Aji?" imbuhnya lagi dengan mata melotot.

"Pasti Kak Dhina punya ulah," sahutku, itu mulut ember memang suka melebih-lebihkan, dan herannya kalo gabung sama Mona jadi nyambung. Apalagi Kak Dhina memang sering belanja online lewat Mona, makin akrab aja itu hubungan.

"Kamu segitu susah lupanya ya sama Aji. Duh... cup, cup, cup kasian..."

"Kamu kesini malah buat kakiku denyut, tau nggak."

Mona ketawa renyah. "Dhiniku nggak sakit nggak sehat, sama aja ya."

Aduh, serius. Aku geli kalo Mona bilang Dhiniku. Mending Bang El yang ngomong gitu. Eh? Bang El, tiba-tiba aku rindu dirimu. Kapan sih ini kaki sembuh?

"Eh, btw. Kamu tau Aji kuliah di mana?"

"Ciaile... yang mulai tanya-tanya."

Mataku menyipit. "Jangan mulai ya. Aku nanya karena nggak percaya itu cowok tiba-tiba keliaran di USU."

False HopeWhere stories live. Discover now