-2- Modus

48.5K 5.8K 310
                                    

Yang miring2 di laptop jadi tegak. Maklumin aja ya..😅

Mulmed : IOI- very very very
.
.

“Malam ini nggak bisa ngelak. Harus ikut. Kalau nggak kubilang sama kepala Lab.”

Spontan aku melempar tatapan setajam silet. Ini si Windi memang nggak ada halus-halusnya kalo ngomong, dua kali lipat lebih parah dari ancaman Bu Umi.

“Cewek kok manja. Kalo mau manja-manjaan ya jangan masuk jurusan pertanian.”

Aku langsung mencibir, sudah sangat-sangat terbiasa dengan mulut pedasnya. Perhatian buat seluruh pelajar kelas 3 SMA, jurusan pertanian memang nggak semudah itu. Ini aku contoh salah satu yang kena karma. Ambil ini jurusan sebagai pilihan terakhir, mikir karena gampang masuknya, nggak banyak yang minat, yang penting kuliah di Universitas Negeri.

Ternyata oh ternyata. Ya, iyalah nggak banyak yang minat. Siapa yang mau ke sawah? Siapa yang mau pegang-pegang cangkul? Siapa yang mau capek-capek cari bahan lab sampe keliling daerah. Apalagi kalo udah kumpul saudara, ditanya, itu cewek masuk pertanian mau jadi apa? Petani?

Itu pertanyaan buat jiwa senewenku naik ke level sepuluh. Kalo nggak ada petani mau makan pake apa?! Makan gadget? Kan nggak mungkin. Ya gunanya kuliah itu buat nemuin inovasi lebih baik. Mau jadi apa aku selanjutnya kan nggak ada hubungannya sama mereka. Kalo ujungnya cuma makan tidur di rumah Pak Zakaria sambil tunggu jodoh pun aku nggak akan minta duit mereka.

Aku menghalau pikiranku yang udah ngelantur, aku mengambil absen dari tangan Windi. “Jemput aku dong. Biar Bu Umi percaya ada cewek yang ikut.” Kataku sambil menyikut tangan Windi.

“Senggol sekali lagi, aku bacok kamu.”

Alisku terangkat, tersenyum jail menyenggolnya sekali lagi. “Jemput. Ya. Ya...”

“Ish! Iya...”

Aku menyengir lebar sambil tangan ini mengurut absen dan menandatanganinya.  

***

Malamnya, setelah berdebat panjang sama Bu Umi, sampe menjelaskan detail hama dan sejenisnya, kenapa dia harus muncul malam hari, obrak-abrik fotokopi materi di depan si nyonya baru deh dapet izin. Ini Bu Umi memang kolotan, dia taunya kuliah itu ya belajar di kelas. Kalo urusan cari bahan lab keluar dia malah bilang aku mengada-ada. Untung ada Pak Zakaria yang mengerti.

Dan kali ini cuma demi cari ulat yang akunya nggak ngerti jenis apa, yang penting ngikut, kami harus sampai ke Tanjung Anom. Sekitar sejam-an dari rumahku di daerah Simpang Pos. 

Dibonceng sama Windi lebih rawan dari pada di bonceng cowok. Ngebutnya nggak tanggung-tanggung. Ini cewek memang niat banget jadi tomboy.

“Pelan-pelan bisa nggak!” Aku berteriak menepuk pundak Windi. Masih sangat sayang dengan nyawaku, apalagi aku belum ketemu lagi sama itu si Barista.

“Udah ketinggalan nih. Gara-gara kamu lama!” balasnya berteriak.

Aku mendengus, memilih diam di boncengan.

Sampai di pinggir pematang sawah, dan hanya ada penerangan dari beberapa motor yang dikendarai anggota kelompok kami yang sudah tiba lebih dulu, aku pun turun dari boncengan.

Aku melepas helm sambil merapikan rambut, anggota kelompok yang lainnya—yang semua cowok—udah mulai senterin ke arah padi. Aku juga bawa senter sih, dan langsung kuambil dari dalam tas.

Mataku menatap horor seolah melihat hantu. Ya, gimana nggak. Itu dari sinar senter yang kuarahkan ada penampakan Bang Dana. Aku sampe ngucek ini mata, tapi kayaknya bukan hantu.

False HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang