-6- Serius Bang El?

35.5K 4.5K 134
                                    

Aku mulai gelisah karena urusan di Lab nggak kelar-kelar. Dan kenapa harus ada jam pengganti Lab di hari sabtu begini?! Di hari yang udah kujadwalkan buat ketemu sama Bang El, mau tuntasin rasa penasaran hubungan dekat apa yang dia punya sama Aji-Ajian itu!

Mana urusan teleponan sama Bu Umi belum kejawab lagi. Gimana nggak? Bu Umi makin pinter, baru lima bulan pake smartphone dia udah bisa ganti pola layarnya. Jadi, mau curi-curi nomor Aji nggak bisa. Tanya sama Mona yang ada entar malah diejek sampe tujuh turunan.

Aku melirik ke arah Robin yang kebetulan satu kelompok. Ini cowok adalah cowok pertama yang berhasil menarik perhatian saat Ospek. Sayang seribu sayang, setelah mata kuliah berlanjut ternyata pelitnya na’uzubillah. Dan aku pastikan langsung masuk ke daftar hitam. Mau se-ganteng dan se-keren apa pun kalo cowok pelit sama bagi-bagi ilmu bawaannya pengin dijadiin peyek. Ah, bodo. Ngapain ngurusin Robin yang sama sekali nggak mewarisi sifat Robin Hood ini.

Selesai pukul empat, nggak buang waktu langsung tancap gas ke Scorpion’s Coffee. Dan yang pasti nggak lewat jalan tempat kejadian perkara seruduk tiang tempo hari.

Aku memarkirkan motorku, setelah lebih dari dua minggu lamanya dan dengan bujuk rayu akhirnya Bu Umi kasih bawa ini motor lagi, aku turun sambil melepas helm. Aku berkutat di kaca spion cukup lama, merapikan tatanan rambutku yang sedikit bengkok ujungnya gara-gara pake helm.

Aku mendorong pintu kaca dengan jantung berdegup nggak normal. Pasalnya terakhir kali aku kabur dari sini tanpa noleh lagi ke arah Bang El. Dan saat itu aku malu maksimal.

Tarik napas. Buang napas. Begitu terus sampe aku duduk di kursi Bar nggak jauh dari tempat Bang El yang sedang sibuk dengan mesin kopinya.

“Hai, kirain nggak bakal dateng ke sini lagi.”

Keningku lantas mengerut. “Kok Bang El bisa pikir gitu?”

Bang El mengendikkan bahu. “Terakhir kali kamu minum kopi panas saking emosinya sama mantan. Mungkin karena pertemuan mendadak sama Aji jadi kamu enggan ke sini. Tapi, mungkin itu cuma pemikiran aku aja. Nggak usah diambil pusing juga.”

Bang El mengulum senyum.

Beberapa saat aku terdiam, tapi setelah saraf ini terhubung dengan baik aku mulai ambil ancang-ancang. Aku udah pengalaman dua atau tiga kali ya? Atau mungkin lebih? Entahlah, nggak ngitung juga kalo bagian sakit hati. Yang jelas, pendekatan kelamaan itu bikin hati tergerus, cemas pengin cepet jadian atau pengin nabok kenapa nggak ditembak-tembak. Apa lagi mengingat rasa penasaranku yang masih lekat sampe sekarang.

“Hm... emang Bang El sama Aji ada hubungan apa? Kayaknya deket gitu.”

Bang El nggak jawab karena ada salah satu pelayan kafe yang memanggilnya. Dia balik lagi setelah selesain urusannya.

“Jadi mau pesen apa?”

Serta-merta wajah ini tertekuk, pertanyaanku tadi menguap begitu saja. Pasti, dan nggak akan dibahas lagi. “Cappucino.” Jawabku singkat, padat, jelas.

Melihat Bang El yang kembali ke kesibukannya, segala hasil risetku tentang kopi bla bla bla dan semacamnya itu aku yakin sama sekali nggak guna. Aku liat ke arah pintu yang bolak-balik terbuka, salahku juga yang datang agak sorean dan di hari weekend pula.

Seleraku menguap. Nggak semangat sama sekali. Selain karena nggak dapet jawaban Bang El, juga karena aku udah buang-buang duit dan nggak dapet hasil apa pun. Aku menghabiskan cangkir kopiku hingga tandas. Lalu, beranjak menuju kasir.

“Loh, udah mau pulang?”

Aku mengangguk singkat. Mata Bang El mengedar, dia panggil seseorang dan menyuruh untuk menggantikannya. Alisku langsung mengerut.

False HopeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt