aku, kamu, juga hujan

Start from the beginning
                                    

"Bahagia bersama hujan? Apa juga bersamamu?" Tanyaku. Dia melepas pelukanku lalu menangkup mukaku dan mengangguk. "Tentu! bersama hujan kita bahagia. aku, kamu juga hujan," ucapnya tersenyum kearahku membuatku ikut tersenyum lalu menautkan kening kami serta kedua tangan kami dan tertawa bersama.

***

Tuhan, inikah yang dinamakan bahagia? Kurasa ini yang disebut bahagia itu. Aku benar-benar merasakan kelegahan, dia mengajariku menari dibawa hujan, menari dibawah lebatnya hujan.

Aku tertawa bersamanya dan tiba-tiba ia menggendongku dari belakang membuatku berteriak lalu tertawa. "Turunin!" Teriakku meronta dengan tawa yang tak bisa kusembunyikan.

Setelah berhasil lolos dari gendongannya aku berlari dan menyipratkannya lumpur yang kebetulan ada didekat kami, dia pun tak mau kalah dia ikut menyipratkan lumpur itu kearahku membuatku berlari menghindarinya.

Aku terus saja berlari menghindarinya, saat ia hendak menangkapku aku menghindar lagi dan tak sengaja kakiku terkilir. "Awww," pekikku langsung terduduk direrumputan. "Sakit," ringisku saat ia mencoba mengurutnya.

Ia terlihat serius memijat kakiku yang tidak terlalu sakit, yang mungkin jika aku berdiri dan meluruskannya sudah sembuh. Aku menatapnya dengan serius sambil tersenyum, dia begitu tampang jika serius seperti ini dibawah air hujan. Akhh! Tentangnya memang hanya keseriusan. Karna ia selalu tampang dimataku, sejak pertama aku melihatnya.

Aku menatap kupluk yang dipakainya lalu kurebut kupluk itu dan memasangkannya dikepalaku. "Eh kok direbut?" Tanyanya langsung mendongak dari kakiku. "Hehe aku pinjam?" Pintaku terkekeh. "Ambil aja," ucapnya.

"Kamu jijik ya pake setelah aku memakainya?" Tanyaku pura-pura. Ia langsung mengernyit. "Oh tidak, kenapa harus jijik?" Ucapnya serius. "Aku akan memberimu yang kamu mau, tapi jika kamu tak ingin tak apa."

"Tidak. Aku hanya bercanda," ujarku tersenyum. Dia juga tersenyum kearahku. "Baiklah, kau ingin memakainya?" Tanyanya. "Aku ingin mengambilnya," jawabku terkekeh. "Hmm ok, masih mau aku kejar?" Tanyanya. Aku memanyunkan bibirku dan menatap kakiku. Dia menaikkan keningnya. "Kurasa ini kode untukku," ujarnya membelakangiku. "Ada apa?" Tanyaku polos meski kutahu apa tujuannya.

"Aku gendong?"

Tanpa ba bi bu lagi aku mengalungkan tanganku dilehernya lalu ia berdiri dan berlari menggendongku, seperti aku ringan sekali. Eh memang kata simbok aku tambah kurus kan? "Kamu ringan Ra," ucapnya. Dia memanggilku Ra? Haha biarlah kuanggap itu panggilan khususnya buatku. Orang-orang memanggilku bukan Ra tapi meneruskan namaku Meira atau nggak Mei.

"Jadi kamu bisa gendong aku sampe subuh nanti?" Tanyaku bercanda. "Selamanya juga boleh," jawabnya melirikku, sekarang jalannya pelan. Aku membuka tanganku dari lehernya sambil tersenyum lalu menumpukan kedua tanganku dibahunya disusul kepalaku yang kusandarkan. Sungguh aku sangat bahagia. Mungkin inilah yang dimaksud bahagia bersama hujan, juga bersamanya yang kumaksud.

"Aku benar-benar bodoh yah? Pernah membenci hujan," ucapku. Dia tak menjawab. "Semoga aku tak membencinya lagi karnamu," lanjutku. "Kamu gak akan membenci hujan, jika yang membuatmu membencinya adalah kehilanganku," katanya.

Perkataannya entah mengapa membuatku legah. "Aku percaya padamu," ucapku. "Aku serius denganmu," sahutnya lalu tak ada lagi percakapan diantara kami aku memeluknya erat dari belakang sambil menyandarkan kepalaku dipunggungnya, sungguh. Aku tak ingin waktu ini berlalu cepat.

Setelah merasa lama digendongnya aku menyuruhnya menurunkanku, meski awalnya ia menolak aku tetap saja bersikeras untuk turun dari gendongannya sampai ia mengalah.

"Kamu masih mau aku ajari cara lain menikmati hujan?" Tanyanya. Aku menatapnya dengan mata menyipit akibat hujan yang begitu deras lalu mengangguk. "Ikuti aku yah," pintanya lalu berbaring direrumputan setelah mendapat anggukan dariku.

Aku mengikutinya berbaring disampingnya. Ia meraih tangan kananku. "Coba deh tutup mata kamu dan rasain hujan itu terjatuh tepat diwajahmu." Aku mengikuti aba-abanya, menutup mataku dan membiarkan hujan itu menjatuhi mukaku. "Kamu ngerasain kesakitan gak?" Tanyanya. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kurasa ia tidak menutup matanya, memang yang kurasa agak sakit membuat aku mengerutkan mukaku.

"Tujuanmu untuk menikmatinya bukan?" Aku kembali mengangguk membenarkan pertanyaannya. "Kurasa hujan juga begitu, saat tujuannya ingin menenangkanmu waktu kamu rapuh kamu malah menyalahkannya," tuturnya membuatku membuka mataku perlahan dan mengusap mukaku. Lagi-lagi ia menjelaskanku makna hujan. Lagi-lagi ia mengajariku arti lukanya hujan yang bukan cuman tentangku.

Aku membalikkan badanku menghadapnya, tangan kami masih tertaut. Aku menatapnya dalam diapun juga begitu, dia menatapku dalam. Tak bisa aku percaya orang yang baru kutemui dua kali tiba-tiba aku tak mau kehilangannya. "Makasih," ucapku. "Makasih udah mengajariku bahagia kembali, makasih udah menjelaskanku arti hujan dengan caramu tanpa bertele-tele dan sedikitpun tak membuatku sakit malah membuatku legah. Makasih udah membuatku bersyukur dengan semuanya, bersyukur saat Tuhan membuatku menerima semuanya melaluimu."

Dia mengusap mukaku. "Makasih juga. Untukmu aku ingin hidup lebih lama lagi," ucapnya entah kenapa membuatku sesak. "Jangan khawatir akan banyak hal, hanya karna perkataan seseorang yang mengganjal dipikiranmu," tambahnya lagi. Aku meraih tangannya yang mengusap pipiku lalu menciumnya dan menutup mataku membiarkan air mataku jatuh bersama hujan.

_______________

Tentang dia (END)Where stories live. Discover now