2. Belanja

120 4 0
                                    

"I against my brother, my brother and I against my cousins, then my cousins and I against strangers" - Pulang, Tere Liye.


Sinar matahari hari ini terasa terlalu terang karena langit yang mendung bertabrakan dengan langit cerah di atas kota Jakarta. Meski menyilaukan mata, tak membuat urung Kholid dan Zain untuk berjalan kaki dari sekolah menuju toko buku. Hari ini sekolah mereka pulang lebih awal karena para gurunya rapat. Dan mereka ingin menyempatkan diri untuk pergi ke toko buku sebentar untuk membelikan hadiah untuk adik mereka, Zahra, yang hari ini, tanggal 7 Juli 2013, ulang tahun yang keenam.

Begitu bunyi bel, Zain langsung membereskan mejanya dan menyandang tas ranselnya. Setelah berdo'a bersama, Zain berjalan ke luar kelas. Namun salah satu teman perempuannya, yang juga menjabat sebagai ketua kelas, memanggilnya, "Eh, Zain! Mau ke mana?"

Zain menoleh, datar, "Pakistan."

Cewek itu, Rizka, menahan tawa dengan sengaja. "Pfft, mana bisa."

"Bisa aja. Ayahku lahir di sana."

"Serius, Zain. Lo mau ke mana? Kalau mau ke kantin, oke deh gue lepasin. Tapi kalau mau pulang, jangan dulu," kata Rizka santai.

"Kenapa?"

"Hari ini jadwal lo piket," kata Rizka, menunjuk tempelan tabel yang dipampang di mading kelas. "Bareng Rindu, Nathan, sama Lisa."

Zain menghela nafas. Apa boleh buat, dia tidak bisa membuat teman-temannya mengurus seperempat tanggung jawabnya terhadap kelas.

"Ya deh, aku ambil dulu sapunya yang di luar kelas," kata Zain sambil berputar melangkah ke luar kelas.

Sosok Kholid muncul ketika Zain hendak mengambil sapu. "Oi, Zain, jadi enggak? Keburu ujan nih," katanya sebagai sapaan selamat pulang sekolah karena hari ini pulang lebih awal.

"Ntar. Ini mau nyapu dulu," kata Zain.

"Oke. Kutunggu di masjid sekolah ya."

Zain masuk lagi ke kelas. Tiga orang temannya yang mendapat jadwal piket bersama sudah mulai membersihkan kelas. Rindu, atau Ririn, cewek yang membersihkan papan tulis, berkata pada Zain, "Sampai sekarang gue masih gak percaya loh, Zain, kalau Kak Kholid itu kakak lo. Gue masih mikir kalau kalian itu kembaran."

"Gak usah bahas itu deh," kata Nathan segera, sambil menggeser-geser bangku yang posisinya tidak beraturan. "Bosen gue dengernya."

"Nathan aja bosen, apalagi Zain-nya," kata Lisa nimbrung. "Ya gak, Zain?"

Zain cuma mengedikkan bahu. Pikirannya melayang ke ruangan toko buku yang akan didatanginya, berpikir apa yang semestinya dia belikan untuk hadiah ulangtahun Zahra. Beberapa bulan yang lalu, Zahra mengatakan bahwa dirinya ingin pergi ke toko buku untuk beli sesuatu, semacam buku tulis yang lucu.

Usai piket, Zain langsung pamit duluan kepada tiga temannya itu, kemudian berlari ke masjid sekolah. Di sana Kholid sudah menunggunya sambil mengobrol dengan salah satu temannya.

"Lid," kata Zain memanggil kakaknya itu, memberi tanda bahwa dia sudah tiba.

"Oh? Udah?" Kholid menoleh pada Zain sebentar, kemudian menghadap temannya lagi, "Ya udah deh, Iz. Aku pergi dulu."

"Oke," teman Kholid mengangguk.

Tak perlu waktu lama bagi Kholid dan Zain untuk tiba di toko buku itu. Letaknya tak jauh dari sekolah mereka, maka jalan kaki pun cukup. Di sana, mereka memilah-milah hadiah untuk Zahra, sekaligus membeli kotak kadonya yang praktis. Tak lama juga, mereka sudah memilihkan hadiah untuk adik kecil mereka itu.

"Dinda pasti suka."

Dinda? Ya, Dinda itu Zahra. Dinda adalah panggilan yang diberikan Kholid dan Zain kepadanya. Semacam panggilan sayang.

Hari sudah sore. Kholid dan Zain memutuskan untuk langsung pulang setelah selesai membeli kado. Tetapi ketika mereka membuka pintu toko untuk ke luar, hujan deras menyambut mereka.

"Aduh, enggak bawa jas hujan lagi," keluh Kholid. "Enggak bawa payung juga."

"Terpaksa berteduh dulu di sini deh," sahut Zain. "Mudah-mudahan aja hujannya cepat reda."

Tapi harapan Zain tidak terkabulkan. Semakin lama hujan semakin deras. Angin kencang mulai ikut berdansa di bumi bersama hujan. Bahkan Kholid dan Zain dapat melihat bahwa dua elemen bumi ini mulai menyebabkan banjir.

"Ya Allah, kayaknya ini mau banjir," kata Kholid dengan nada kagum.

"Mudah-mudahan aja enggak, Lid. Aku gak mau banjir," balas si adik.

"Siapa juga yang mau, Zain."

Kemudian terdengar suara ponsel milik Kholid berdering. Ada panggilan masuk. Kholid meraih ponselnya di saku celana seragamnya.

"Siapa?" tanya Zain ingin tahu.

"Ayah," jawab Kholid, kemudian mengangkat teleponnya. "Assalamu'alaikum, Yah. Ada apa?"

Zain memerhatikan Kholid. Zain berharap dia juga dapat mendengar suara jawaban salam ayahnya di seberang sana. Tadi pagi, ayah mereka baru saja pulang kerja dari luar kota. Kholid dan Zain sama-sama kangen, ingin menghabiskan waktu seharian bersama Ayah, namun karena harus sekolah, terpaksa mereka menundanya ke akhir pekan.

Tapi mimik wajah Kholid yang berubah membuat Zain panik. Apa? Ada apa? Mengapa Kholid seperti mendengar berita duka?

Kemudian, Kholid selesai menerima telepon.

"Apa, Lid? Kenapa? Apa kata Ayah?"

Kholid menatap Zain, matanya berkaca-kaca. Tidak lazim cowok tegar seperti Kholid seperti itu. Zain mengernyit.

"Zain,..." bisik Kholid, "Ayah, Mama sama Dinda––"

"Apa?" desak Zain.

"...kecelakaan."

TiramisuWhere stories live. Discover now