14. Egois

1.4K 67 3
                                    

Dedicated : Ekaapritt

Sorry for typo 😂 Jejaknya jangan lupa ya 😘

...

Sudah beberapa hari ini, Max berada di rumahnya bersama Jessi dan Jasper tanpa kehadiran Amanda. Setiap detik, kedua anaknya itu selalu menanyakan tentang Amanda. Wajar saja karena mereka belum mengetahui yang sebenarnya mengenai Tiffany.

Max pun merasakan frustasi yang teramat dalam. Dirinya berusaha untuk menghilangkan Amanda dari pikirannya. Namun, hal itu hanya sia-sia saja. Tak ada gunanya. Itu karena, setiap sudut ruangan selalu terdapat kenangan indah tentang Amanda.

Semenjak kepergian Amanda, duda beranak dua itupun tidak pernah berangkat ke kantor. Situasinya sangatlah buruk saat ini. Ia sama sekali tak bisa fokus dengan pekerjaan kantornya. Untungnya, dia adalah CEO dari perusahaan tersebut.

Kerjanya hanya merenung sendirian di kamar. Menatap lurus keluar jendela dengan tatapan kosong. Menantikan hari dimana dirinya bisa mendapatkan sebuah kebahagiaan seperti dulu, sebelum Tiffany meninggal.

Sesekali, terdengar helaan napas dari Max. Seakan berusaha menghilangkan beban dihatinya. Ia teringat akan malam indah yang dihabiskannya untuk menjamah tubuh Amanda. Perasaan bersalah pun selalu muncul ketika ia melihatnya.

"Arrgghh!"

Max mengerang marah seraya menghempaskan setiap barang yang ada didekatnya. Alhasil, kamarnya menjadi berantakan tak karuan. Dirinya merasa begitu jahat dan egois.

Selama Amanda berada didekatnya, ia hanya mementingkan kebahagiaan anak-anaknya saja. Ia tak pernah menghargai perasaan cinta Amanda. Baginya, Amanda hanyalah penyelamat ketika dirinya sedang terpojok oleh pertanyaan Jessi dan Jasper mengenai Tiffany.

"Kau benar Amanda. Aku memang egois -sangat egois," ujar Max, terduduk lemas di lantai kamarnya yang dingin, "Aku tidak pernah memikirkan perasaanmu. Yang kupikirkan hanyalah tentang anakku saja."

Dia terisak seraya mengacak-acak surainya geram. Merasa dirinya tidak berguna dan lemah. Max begitu membenci dirinya yang sekarang, karena ia tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Hingga membuat orang tersebut merasa sakit hati.

Amanda menganggap bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Max. Memang awalnya, Amanda yang datang menemui Max. Tapi itu tak lain untuk memenuhi keinginan terakhir sang kakak. Namun sepertinya, takdir berkata lain.

Tuhan telah menaruh cinta dihati Amanda untuk Max. Tapi Max, justru mengabaikan hingga membuat Amanda merasa hancur. Meskipun niatnya tulus untuk membahagiakan Max dan keponakannya, tapi ia juga manusia. Yang mempunyai perasaan dan sensitifitas.

"Maaf karena membuatmu sakit hati, Amanda. Tapi, aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu padamu." ujar Max lirih. Menangis di tengah-tengah barang yang berserakan akibat ulahnya.

"Aku memang bodoh! Bodoh karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirimu, Amanda," ujarnya lagi, "Cabut saja nyawaku, Tuhan!"

Meskipun dihadapan anak-anaknya ia tampak tegar, namun ketika sendiri, kesedihannya pun mulai muncul. Jessi dan Jasper tak pernah tahu dengan kesedihan ayahnya.

"Aku benar-benar sudah bosan dengan cobaan ini, Tuhan. Tolong, cabut saja nyawaku agar aku tenang." Max menelungkupkan wajahnya dengan lutut kaki sebagai penopangnya. Ia menangis dan terus menangis sepanjang hari ketika Jessi dan Jasper sedang bermain di rumah Wanda Green.

Ketika sedang asik dengan tangisannya, sebuah tangan dingin menyentuh tangan Max. Pria itupun mendongakkan kepalanya, "Amanda?"

Wanita itu tersenyum, "Kau merindukannya ya?"

Max pun berusaha menetralkan penglihatannya. "Ti-ffany?" ujarnya ragu.

Ternyata wanita itu adalah Tiffany. Lebih tepatnya arwah Tiffany. Wanita itu datang disaat yang tepat. Ketika Max mengalami kesedihan seperti ini, biasanya Tiffany akan muncul dan menghiburnya.

"A-aku ... aku benar-benar ... egois, kan?" tanya Max dengan suara paraunya.

Tiffany menggeleng, "Tidak. Kau baik. Hanya saja, Amanda terlalu terbawa perasaan."

"Dia membenciku, Tiffany. Dia ... tidak ingin melihatku," ujar Max semakin larut dalam tangisannya.

"Itu hanya ucapannya saja," sanggah Tiffany, "Dalam hatinya, dia begitu mencintaimu. Bukan membencimu."

"Benarkah itu?"

Tiffany mengangguk, "Percaya padaku."

"Tapi, aku tidak mencintainya," ujar Max lagi.

Tiffany tersenyum, "Kau mencintainya tapi, kau belum menyadari itu. Hatimu selalu terbuka untuk Amanda, tapi pemikiranmu menolaknya."

Max termenung. Sejujurnya, ia belum begitu yakin dengan yang dikatakan Tiffany. Ia merasa bahwa hatinya masih mencintai Tiffany, bukan Amanda.

"Kejarlah dia, sebelum terlambat." Setelahnya, Tiffany menghilang. Membuat Max dalam dilema yang besar. Padahal, masih banyak yang ingin dia katakan pada arwah Tiffany itu. Tapi, sudah terlambat.

"Benarkah aku mencintai Amanda?" gumam Max seraya kembali menatap keluar jendela, "Mungkinkah ini cinta, Tuhan?"

-----------------------------------------------------------------

To Be Continue

Hhm si Max mah masih sok jaim ya guys 😂 Oke, lanjutannya besok ya. Jangan lupa dukungannya 😘




WidyaMunthari
28 November 2017

Her LipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang