Gerakan menulis Ares terhenti sesaat, laki-laki itu memejamkan matanya karena untuk ke sekian kalinya, Aira menyikut tangannya hingga bukunya menjadi tercoret.

"Lo bener-bener," Ares sudah kehilangan kesabarannya. "Cabut lo sialan!"

"Idih, siapa lo ngatur-ngatur gue?" Aira mendengus lalu membuka handphonenya.

Jangan tanya seberapa berang Ares saat ini.

"Jangan ganggu gue!"

"Idih siapa yang gangguin lo?"

"Mau lo apa sih?" Tanya Ares dengan wajah geramnya.

Untuk pertaman kalinya, Aira menyengir, matanya berbinar kali ini, "Ke Kantin yuk?"

Ares menyeringai, mendekatkan wajahnya ke arah Aira "Gak!"

Gadis itu menendang kaki bangkunya, "Parah lo sialan."

"Minta temenin sama yang lain sana," katanya malas, Ares mengambil earphone yang terletak di lacinya lalu memasangnya namun Aira menariknya hingga terlepas. "Apa lagi sih?!"

"Gue minta temenin sama lo!"

"Rafi! Agung!" Teriaknya begitu kuat, kedua temannya yang duduk di sampingnya itu masih memegang handphonenya.

"Apaan Res?" sahut Agung tanpa menoleh.

Ares melirik Aira dengan wajah tidak senangnya yang dianggap masa bodo oleh Aira. "Anterin nih cewek ke kantin gih,"

"Gak mau ah, lagi war nih," Agung sibuk bermain dengan handphonenya, laki-laki berambut hitam itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun.

"Iya, Res, kita lagi war," sahut Rafi, teman semeja Agung.

Refleks, Ares menghela napas melihat senyum yang tertahan itu. Baiklah, ia tidak perlu meladeni anak baru ini. Harusnya mereka bersikap profesional sebagai teman semeja.

"Udah ah, gue gak laper lagi," Aira menidurkan kepalanya di atas meja lalu menguap lebar-lebar. "Kalau nanti ada guru, bangunin gue ya, eh nama lo siapa? Beras apasih?"

Ares memicingkan matanya dengan raut wajah datarnya, "Ares."

"Iya, Ares," perempuan itu menutup matanya, membuat Ares memperhatikannya "Ares nanti bangunin gue ya, bye,"

Selama bertahun-tahun hidupnya, baru kali ini ada seorang perempuan yang baru dikenalnya berani memerintahnya.

***

Ares tidak tahu apa pentingnya membangunkan seseorang yang bahkan belum dikenalnya selama 24 jam. Laki-laki itu berjalan cepat tanpa menghiraukan teriakan Aira yang ada di belakangnya, mengikutinya sambil marah-marah.

Laki-laki itu sudah memasang earphone dan menghidupkan lagu dengan volume paling kuat. Namun suara Aira rasanya sudah melebihi suara petir, begitu kuat dan tidak enak di dengar.

Dan entah detik keberapa, perempuan itu sudah berdiri di depannya dan merentangkan tangannya lebar-lebar. "Lo emang gak punya hati! Lo pikir gue gak malu apa di ketawain sama satu kelas?!" bentaknya sambil melotot.

"Berisik lo,"

"Heh! Dengerin gue, sini lo gue smackdown!"

"Ngomong sama batu lo, sialan!" Ares berjalan melewatinya, mereka sedang berada di trotoar dan Ares tidak tahu apa tujuan gadis ini mengikutinya.

Ares hampir saja terjatuh karena kaki Aira menghalangi jalannya tiba-tiba, gadis itu terkikik geli melihat wajah memerah Ares. Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak dengan tangan kanan terkepal hingga buku-buku jarinya terlihat.

"Kalau lo cowok udah gue hajar lo," katanya begitu dingin dengan napas tertahan.

Mereka sudah sampai di halte dan Ares langsung duduk. Suasana halte tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa anak berseragam putih-abu-abu yang sedang menunggu bus. Biasanya, halte ramai ketika jam 5 sore, yaitu jam pulang kantor.

"Lo ngapain ke halte Res?"

Ares mengusap rambutnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, "Masak."

"Idih ngelawak lo, Res?" perempuan itu terkekeh, membuat Ares meliriknya sekilas. Perempuan itu akhirnya duduk di sebelahnya.

Ares kembali diam, memilih tidak melawani perempuan yang banyak omong ini. Sampai akhirnya, penantiannya berakhir. Ares tidak pernah sebahagia ini hanya karena melihat bus yang biasa menjadi kendaraannya datang.

Melihat Ares yang berdiri, perempuan itu ikutan berdiri. Ares berjalan dan membiarkan perempuan naik terlebih dahulu. Baru saja ia ingin naik ke dalam bus, Aira menarik tangannya dan membawanya kembali ke halte.

Supir bus yang hapal dengan wajah Ares akhirnya menjalankan busnya karena melihat Ares yang berbalik. Jangan tangannya seberapa kesal Ares saat ini.

"Apa sih lo? Gue mau pulang!"

Perempuan di depan Ares itu melipat tangannya di depan dada. Entah ia yang salah lihat atau tidak, Ares dapat melihat ada rona merah di wajah gadis itu, namun Ares abaikan karena kekesalannya sudah sampai di puncaknya.

"Anterin gue pulang," katanya dengan cepat tanpa mau repot-repot menoleh ke arah Ares.

Ares menatapnya takjub, setelah tadi memerintahnya untuk membangunkan gadis itu, kini ia meminta agar diantar pulang.

"Lo pikir lo siapa?" Ares membalikkan badannya, lebih baik ia mencari kendaraan lain untuk pualng daripada berlama-lama disini.

Aira menarik tangannya lalu menyodorkan handphonenya pada Ares membuatnya mengernyitkan keningnya. "Apaan?"

"Hp gue mati,"

"Terus?" Ares mengangkat sebelah alisnya.

Wajah gadis itu semakin memerah. "Anterin gue pulang, gue lupa rumah gue dimana." Katanya malu-malu walaupun nada yang digunakannya begitu ketus.

"Lo lupa rumah lo?" Senyum Ares terlihat menertawakan betapa bodoh Aira saat ini.

"Jangan ketawa! Bantu gue cari alamat rumah gue!" Katanya berusaha menutupi kebodohannya, "Gue baru di Jakarta asal lo tahu!"

***

Semoga kalian suka ya sama ceritanya ❤❤❤ Jangan lupa vote dan komen❤❤❤


Unsteady Where stories live. Discover now