12. When I Look Into Your Eyes

246K 23.7K 2.2K
                                    

Otakku mungkin kurang waras karena menyetujui ajakan Arkan yang entah akan membawaku ke mana. Selama di perjalanan, aku sibuk menerka tempat apa yang akan dia sambangi. Tempat yang katanya bisa membuatku tertawa.

Honda Jazz milik Arkan melintasi jalan Gatot Subroto. Bibirku membulat dengan mata melotot tidak percaya, saat Arkan membelokkan Honda Jazz-nya ke Trans Studio Bandung.

"Pak?"

"Hmm,"

"Trans Studio banget nih?"

"Di sini kamu bisa teriak-teriak menaiki wahana yang memacu adrenalin," jawab Arkan mematikan mesin mobilnya di area parkir.

"Budget-nya gak kemahalan, Pak?"

"Asal gak tiap hari aja kamu ngajak saya ke sini," sahutnya tertawa geli. "Ayo turun!"

Menuruti keinginannya dengan senyum tidak bisa lepas dari bibir. Kapan lagi main ke Trans Studio tanpa dipungut biaya apa pun alias gratis. Lumayanlah buat refreshing otak yang penuh sampah-sampah kegalauan ini.

"Jangan senyum sendiri gitu, nanti dikira saya bawa pasien rumah sakit jiwa."

"Ya ampun, Pak. Sadis banget ngomongnya," protesku. Jelas saja aku masih waras ya, walau kadang kewarasanku sering terganggu karena bergaul dengan orang-orang semacam Wulan dan Fajar. Ah, mengingat mereka jadi baper lagi.

Arkan tertawa. Nih orang punya dua kepribadian yang bertolak belakang kali ya, kalau ketawa merdu kalau ngajar minta ditinju.

"Ayo!"

Arkan menoleh lagi ke belakang mengetahui aku belum jalan satu langkah pun. Menghembuskan napas pelan, kulangkahkan kaki dengan sedikit ragu. Sementara Arkan masih menunggu sampai langkah kami sejajar.

"Beriringan banget nih, Pak?"

"Kalau saya jalan di belakang kamu, nanti dikira saya bodyguard kamu yang menemani majikan jomblonya. Kalau saya jalan di depan kamu, nanti orang-orang ngira kamu pembantu saya."

Memutar bola mata sambil mengibaskan tangan. "Terserah, Bapak, deh. Pusing saya sama omongan-omongan ngawur Bapak."

"Nanti juga terbiasa."

"Justru karena terbiasa makanya saya pusing. Bapak tuh aneh, kalau di kelas aja galaknya minta ditalak 3 langsung. Kalau di luar kelas--,"

"Minta banget dihalalkan, iya?"

"Ih, apa sih?" Aku membuang pandangan ke segala arah asalkan tidak ke arah Arkan yang sekarang sedang menertawakanku. Semburan lahar panas menerpa wajahku, hingga rasanya keringat mulai bercucuran. Sial! Kenapa aku harus blushing sih?

"Khanza."

"Iya?"

"Saya--,"

"Pak, naik Giant Swing yuk!" aku memilih menghindar sekarang. Lagi pula tujuan dia mengajakku ke sini untuk membuatku happy. Bukan malah mengobral gombalan receh seperti tadi.

Aku berbalik badan untuk memastikan Arkan ada atau tidak. Takutnya dia meninggalkanku seorang diri. Kalau sampai beneran ditinggal, aku harus pulang naik apa coba? Sementara aku belum tahu jalur yang harus kutempuh untuk sampai ke kosan.

Diam-diam aku bernapas lega karena Arkan tepat berdiri di belakangku. Terdiam di tempat antrean, matanya menatap datar wahana ekstrim bernama Giant Swing di depan sana. Mengikuti setiap gerak yang dilakukan wahana tersebut.

"Pak, takut?"

"Nggak, saya gak takut sama apa pun kecuali tiga hal."

Masih sempet-sempetnya dia kasih pencerahan di keramaian seperti ini.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang