1. Diusir dari Kelas

406K 30.9K 2.2K
                                    

Aneh, hasil survei membuktikan jika 99 dari 100 mahasiswi di kampus sangat memuja-muja Arkan. Apa yang mesti dibanggakan dari dia? Prestasinya? Oke, aku mengakui dia itu cerdas. Kalau tidak cerdas mana mungkin yayasan merekrut dia untuk jadi dosen di usia muda.

Selain prestasi, tampang kah? Oke, aku akui juga kalau dia itu tampan. Ya sebelas duabelas sama Hamish Daud yang sama-sama keturunan Australia.

Arkan ini kalau disapa mahasiswi cantik biasanya suka mengumbar senyum berlebihan, sampai-sampai matanya tenggelam. Dia memang sukanya cari perhatian. Dan kalau di kelas, wajahnya sok judes, sok galak. Tujuannya apa coba? Biar disegani mahasiswa atau jaga imej?

Oke, abaikan curhatan hati mahasiswi manis di atas.

Aku setengah berlari dari kosan ke kampus yang jaraknya cuma seratus langkah kaki. Mengikat rambut di jalan, dan sepatu belum terpakai sempurna. Kampret! Kampret! Kenapa aku bisa lupa pakai alarm? Sudahlah pasrah saja jadi badutnya Arkan kalau begini caranya.

Sampai di depan pintu kelas, aku mengatur napas dulu biar tidak ngos-ngosan. Menyeka keringat dan bercermin menggunakan cermin kecil yang tidak lupa kubawa di dalam tas, barangkali lipstikku acak-acakan. Well, Khanza memang sudah manis dari lahir.

Aku mengetuk pintu dan membukanya pelan-pelan, meski jantung berdebar keencang aku berusaha melontar cengiran kaku pada Arkan yang sedang berdiri di sentral kelas. Matanya memanahku dengan tajam, tidak ada raut bersahabat.

"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat."

Aku masuk dengan langkah biasa saja pura-pura tidak bersalah padahal was-was. Takutnya kena sembur Arkan, jadinya kan tidak lucu. Duduk di kursi kosong yang hanya tersisa tiga lagi.

"Khanza Adreena Shabira?"

Aku mengangkat tangan dan menjawab gugup, "iya, saya, Pak."

"Tolong tutup pintunya." Lugas dan santai. Tidak ada nada marah dari suaranya. Ya biasa aja kayak dia nerangin materi.

Aku menengok ke belakang. Pintu sudah aku tutup rapat, terus maksud Bapak Dosen yang Terhormat ini apa coba? Kunci pintu?

Aku kembali melihat ke arah Arkan, wajahnya masih setenang tadi. Lalu netraku mengedar ke sekeliling, keadaan hening, amat sangat hening. Seperti hendak mendengar ponis hukuman dari hakim.

"Maaf, Pak, tapi pintunya sudah tertutup," kataku gagu.

"Maksud saya, silahkan tutup pintunya dari luar."

Menelan ludah dengan terpaksa.

What the fuck?

Jadi, dia mengusirku? Padahal ini baru pertemuan kedua lho.

"Ma-maksud Bapak?"

"Saudara datang terlambat sampai tiga puluh menit, dan saudara tahu konsekuensinya?"

Kepalaku semakin melorot ke bawah. Sialan! Arkan paling bisa bikin nyaliku ciut.

"Ta-tau, Pak."

"Sebentar, saya beri saudara penawaran. Pertama, saudara boleh mengikuti mata kuliah saya dengan catatan, saudara tidak boleh tanda tangan di daftar hadir. Kedua, saudara tutup pintu kelas dari luar."

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang