4. Kapan Bawa Calon Menantu?

296K 26.2K 1.4K
                                    

Biasakan baca author's note biar gak terus bolak-balik nanya hal yang sama.

ARKAN

©©©

Dua puluh enam tahun dan masih sibuk mengejar karier, tidak masalah buat gue. Bukan berarti gue melupakan soal jodoh yang harus dicari, hanya waktu belum sepenuhnya mendukung. Prinsip gue live every moment. Jadi soal jodoh, gue santai.

Tuhan menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Artinya, gue juga udah punya jodoh yang belum gue ketahui di mana rimbanya. Yang jelas bukan cinta masa lalu gue, yang rasanya lebih pahit dari kopi yang diseduh tanpa gula.

Kenalin, gue Arkan. Lelaki tampan dan mapan. Bukan mantan bad boy, play boy, cover boy ataupun Boboboy.

Nama tengahku Dirgantara, entah dari mana filosofinya tiba-tiba bokap kasih nama Dirgantara. Padahal Bokap pernah cerita, kalau dia sama sekali tidak tertarik dengan dunia Kedirgantaraan. Mungkin dicocok-cocokan sama nama tengah kembaran gue kali ya. Yudhistira dan Dirgantara, seharusnya Yudhistira itu berdampingan dengan Arjuna. Ah, sudahlah, apapun arti nama gue, yang jelas tujuannya baik.

Dan lelaki seusia gue ini sudah banyak yang mewawancarai 'kapan nikah?' pertanyaan paling menyebalkan.

Kalau datang ke acara nikahan teman, pengantin laki-lakinya pasti dengan angkuhnya bertanya, Ar, kapan nyusul?

Dan harusnya gue jawab, Nanti tunggu lo cerai sama bini lo.

Belum lagi nyokap yang terus merengek minta gue cepat nikah. Oke nikah gampang sih. Tinggal ada calon, ada penghulu, wali nikah, saksi, maskawin, ijab kabul terus langsung sah. Yang susah itu, menjalankan kehidupan setelah menikahnya. Itu sih yang gue lihat dari beberapa teman dan bahkan Arsen--kembaran gue, yang tanpa solidaritas mendahului gue.

"Jadi, kamu kapan pulang? Gak kangen rumah, gak kangen masakan Bunda, gak kangen juga sama Bundanya?"

Gue mengembuskan napas pelan mendengar rengekan wanita yang paling berharga di dunia ini, yang telah berjasa melahirkan gue tanpa kekurangan apa pun.

"Kangen, Bun. Kangen, banget."

"Terus kapan pulang ke Jakarta?"

Besok juga bisa pulang kok, Bun. Asal gak ditagih calon istri aja.

"Kalau gak akhir bulan, ya awal bulan. Arkan usahain kok, Bun. Cuma kadang males buat nyetir jauh."

Nyokap mencebik pelan di sambungan telpon. "Akhir bulan versi kamu tuh lama, bisa jadi akhir bulan di akhir tahun nanti," gerutu nyokap.

Gue memang jarang pulang. Selain malas nyetir, gue juga malas kalau ditagih calon menantu idaman nyokap.

"Nggak, aku janji akhir bulan ini. 'Kan mau jengukin ponakan yang baru lahir."

Istrinya Arsen baru melahirkan sepasang bayi kembar dua hari yang lalu, laki-laki dan perempuan. Dan Bunda sebenarnya sudah meneror gue untuk pulang dari dua hari yang lalu, tapi gue profesional dong. Bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa lebih gue utamakan.

"Kamu gak iri sama Arsen? Dia udah punya hasil dua loh, Ar. Kamu mah calonnya aja belum ada," sindir Bunda sinis.

"Aduh, Bun, kok gitu banget ngomongnya. Kayaknya aku ini gak laku aja," protesku.

"Ya habisnya kamu tuh, cepet-cepet cari istri. Biar kamu punya anak Bunda masih kuat buat gendongnya. Nanti kalau kamu gak nikah-nikah, takutnya Bunda gak bisa gendong anak kamu."

Jurus merayunya mulai dikeluarkan, kalau sudah begitu gue bisa apa sebagai anak selain berusaha mengabulkan permintaannya. Memang ada rasa takut akan hal yang baru saja nyokap bicarakan, tapi gue yakin Tuhan ngasih umur yang panjang buat nyokap dan bokap gue sampai mereka punya cucu selusin, lumayan buat kesebelasan tim sepak bola dengan satu pemain cadangan.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang