III

45 0 0
                                    

Beristirahat sejenak diruang kantor yang sejuk dengan pendingin ruangan, sedikit membuat pikiran kalutku yang melamun di kelas tadi reda. Pikiranku masih berputar pada pertemuan dengannya lagi.

Pekan lalu...

Sore itu dengan suasana yang cerah, berjalan-jalan disekitar lingkungan rumah. Udara sejuk, matahari sore yang mulai meredup perlahan. Banyak anak kecil yang bermain sepeda bersama orang tuanya, remaja-remaja bermain dengan teman-temannya.

Kaki ku melangkah ke tepi danau yang ada diujung perumahanku. Duduk di tepi danau, menyaksikan matahari terbenam. Ku nikmati angin sore yang sejuk menerpa pipiku dan ku pejamkan mata.

Angin sore yang sejuk mulai mereda, ku tarik napas dalam-dalam dan ku lepaskan perlahan begitupun mata ku yang mulai terbuka. Matahari sudah tenggelam, lampu disekitar danau telah menyala, ku putuskan untuk berbalik dan pulang.

Langkah kaki ku berhenti melihat sesorang yang berada tidak jauh denganku, tepat dibelakangku. Mataku melebar saat aku sadar siapa dia, yang berada dibelakangku.

"I..i...Irfan?"

Tangan dan kakiku gemetar, jantungku berdegub tak normal, dadaku mulai terasa sesak.

Hanya senyum yang terpancar diwajahnya, tidak ada suara yang terucap. Hanya langkah kakinya mulai terdengar maju kearah depanku. Detak jantungku semakin tidak beratur. Kaki ku pun mundur, saat langkah kakinya terus mengarah padaku. Dan dia berhenti tepat dua langkah didepanku.

"Sudah larut, pulanglah" ucapnya padaku setelah senyum yang ia berikan.

Dadaku semakin sesak, bahkan sulit untuk bernafas. Aku mencoba bertahan semampuku, sampai akhirnya kembali normal dengan detak jantung yang masih tak normal.

"I..i..iya" ucapku perlahan.

"Mau saya antar?" tanyanya.

"Enggak perlu!" jawabku cepat.

"Sudah larut, bahaya bagi wanita berjalan sendirian. Biar saya antar" tanpa menunggu jawabanku, dia menarik tanganku dan berjalan cepat.

"Lepas!" aku mencoba menarik tanganku yang digenggamnya. "Lepas! Saya bilang lepas!"

Berhenti tepat dirumahku. Dia mulai melepas tanganku, akupun mulai menarik tanganku dengan cepat.

"Ingatan saya emang baik, saya masih mengingat rumahmu."

Tak sepatah katapun keluar dari mulutku, diam tak bersuara. Masih mengatur detak jantungku untuk menjadi normal kembali, tapi yang kudapat semakin tak normal.

Aku berlari meninggalkannya sendirian, tanpa mengucap sepatah katapun. Menanyakan kabar ataupun mengucap makasih. Dadaku yang kembali sesak, mulai kesulitan bernapas karena kembali berhadapan dengan satu-satunya orang yang membuatku kesulitan mengontrol jantungku.

"Sampai jumpa lagi, Ina" hanya kalimat itu yang terakhir terdengar ditelingaku setelah menutup pintu rapat.

Dadaku semakin sesak, sulit bernafas, ku coba berdiri dan mencari air putih.Ku lihat dari dalam jendela, dia masih berdiri tepat didepan rumahku. Mata ku dan matanya saling bertemu. Ku lingkap tirai jendela, dan berlari ke kamarku menajtuhkan diri pada kasurku.

"Haruskah ada pertemuan kedua? Jatuh cinta kedua kalinya?" sesak ku yang semakin jadi berakhir dengan air mata. Tangis yang tidak berakhir selain tertidur setelahnya.

"Bu sudah masuk jam kedua? Tidak ada kelaskah?" tanya salah satu rekan kerja yang membangunkanku dari ingatan pekan lalu.

"A..ah iya, sebentar lagi pak" jawabku.

Aku melangkahkan kaki dengan penuh gairah untuk melupakan semua ingatan yang terjadi pekan lalu, dan focus pada pekerjaanku lagi.

"Assalamualaikum, anak-anak. Maaf ibu terlambat"

"Wa'alaikummusalam. Iya bu gapapa"

"Kumpulkan tugasnya dan lanjut materi selanjutnya."

"Baik bu"

Akhir sebuah penantianWhere stories live. Discover now