pegangan - kookmin

906 194 86
                                    

Menjadi pendek bukan kemauan Jimin. Kalau saja tinggi badan bisa diatur, maka sudah dari lama Jimin akan menaikkan angkanya menjadi 180--supaya ia terlihat keren dan maskulin, apalagi ditambah jaket kulit hitam dan parfum Calvin Klein Eternity.

Tapi, kadang, realita tak seindah ekspetasi. Mimpi Jimin ingin jadi tinggi, namun ukuran tubuhnya yang cuma segini seakan menamparnya dengan keras. Jimin seringkali mengernyit ketika melihat bayangannya di cermin dan berpikir percuma ia minum susu tiap hari kalau tingginya tak bertambah-tambah--tak kunjung menyentuh garis biru yang Jimin buat pada cerminnya.

Jimin ingin tinggi itu bukan hanya sekadar gengsi. Karena ada beberapa hal yang membuat Jimin berpikir kalau jadi pendek sangat payah--dan sialnya, Jimin selalu merasakan itu.

Seperti saat ia di perpustakaan. Klasik. Buku referensi yang dibutuhkan ada di rak yang paling atas, dan Jimin tak bisa mencapainya padahal dia hanya perlu sepuluh senti lagi untuk mengambil benda itu kalau, seandainya, Jimin sedikit lebih tinggi. Akhir-akhirnya ia menggunakan tangga, atau meminta jasa cowok jangkung yang kebetulan ada di dekatnya saat itu.

Kemudian saat kelas olahraga. Setiap kali Jimin berusaha melambaikan tangan agar teman setimnya mengoper bola basket padanya, yang terjadi malah ia ketutupan oleh tubuh tinggi lawannya dan berakhir dengan kekalahan tim Jimin. Dan kalau sudah begitu, Jimin harus menyumbat telinga karena Yoongi akan marah-marah menyalahkan kependekannya walau tinggi mereka tak jauh beda.

Belum lagi kalau ia disandingkan dengan Chanyeol. Jimin agak membenci kakaknya itu karena telah mengambil semua gen peninggi badan hingga menyisakan Jimin sepersedikitnya saja. Jimin akan terlihat seperti manusia kerdil kalau berdiri di samping Chanyeol. Dan Chanyeol dengan menyebalkannya malah mengejek Jimin alih-alih memberi motivasi atau mengatakan kaya penyemangat kalau Jimin harus bangga dengan tingginya.

Tapi, kadang kekurangan dan kesialannya bisa membawa Jimin pada keberuntungan yang menyenangkan. Seperti hari itu, hari di mana Jimin bersyukur terlahir pendek.

Jimin itu ceroboh. Seringkali terjatuh dan banyak kali melupakan sesuatu. Ia baru selesai kelas terakhir senja itu dan telah berjalan setengah jarak menuju halte ketika ia sadar sudah melupakan ponselnya di loker. Berakhir dengan Jimin yang kembali lagi di sana dan membuat waktu pulangnya lebih lama.

Dan pulangnya hari itu bertepatan dengan jam keluar orang-orang. Jadi halte dipenuhi manusia, dan Jimin harus menunggu dua giliran untuk bisa masuk ke dalam bus. Itu pun masih dipenuhi banyak orang walau pun tak separah bus pertama dan kedua. Dan sialnya, tak ada tempat duduk. Dan itu berarti ia harus berpegang pada pegangan yang digantung di atas--yang mana tak bisa ia capai.

Ini terdengar konyol. Tapi Jimin benar-benar tak bisa mencapai pegangan itu. Apalagi ditambah keadaan yang penuh sesak oleh orang, sama sekali tak membantu.

Maka hari itu Jimin sudah pasrah. Sudah tak peduli kalau ia akan terombang-ambing dan menubruk tubuh orang-orang di sekitatnya. Sudah siap kalau ia harus terdorong ke depan karena tak punya sesuatu untuk berpegang. Jadilah ia meremat ujung hoodienya lamat-lamat sambil menatap ujung sepatu.

Itu, sebelum ia merasakan ujung jari menyentuh pundaknya.

"Hei, kau boleh berpegangan padaku," katanya.

Jimin harus mencerna kata-kata itu lebih lama. Malah salah fokus dengan pemilik suara itu--seorang anak sekolah menengah atas dengan tubuh tinggi dan rambut raven. Jimin menatapnya lamat-lamat, pada mata bulat dan hidung bangir juga bibir kecil itu--sampai ia sadar oleh sebuah deham yang berasal dari sosok yang sama.

"E-eh, t-tidak usah."

Jimin sepertinya harus memakan kata-katanya sendiri karena ketika bus berhenti tiba-tiba, tubuhnya terdorong ke depan. Nyaris akan membuat Jimin jatuh tertelungkup ke hadapan kalau saja tak ada lengan yang menarik pinggang Jimin hingga ia bertabrakan dengan dada bidang berbalut seragam.

"Kau baik-baik saja?" Si orang asing dengan aroma seperti terik matahari dan lapangan bola bertanya. Dan tiba- tiba saja Jimin terdiam bagai batu. "Yakin tidak mau terima tawaranku?"

Pada akhirnya Jimin yang kalah di situ. Ia kembali pada posisi awalnya dengan panas yang merambat di pipi. Pelan-pelan mengarahkan tangan pada lengan asing di sebelahnya--yang telah berpegang lebih dulu pada gantungan kait di langit-langit. Jimin meletakkan jemarinya hati-hati di atas bisep yang tertutup kain putih itu--dan tangannya yang lain langsung terkejut ketika merasakan sengat menyenangkan yang mengalir dari ujung ke ujung.

Jimin diam-diam mengumpat dalam hati. Mengutuk pada lelaki di sebelahnya, iri pada tubuhnya padahal ia jelas lebih muda dari Jimin. Apa yang dia makan sampai badannya bisa atletis begitu? Sampai-sampai Jimin ingin mati begitu merasakan bisepnya di bawah genggaman jari. Oh, sial. Terbentuk sekali.

Pemilik surai pirang itu berusaha mengalihkan pikirannya dari hal lain. Tapi berkali-kali pula gagal. Yang terpikir justru detak yang terasa di bawah kulit tangannya. Atau otot yang terasa keras sekali dalam genggaman. Jimin tak bisa mengalihkan semua pikiran itu kalau dia tetap ada di sini, maka yang bisa ia lakukan hanya berdoa supaya lebih cepat sampai. Supaya ia bisa menjauh dan tak perlu lagi memikirkan yang iya-iya.

Iya. Iya-iya seperti, misalnya, tangan itu menggerayangi tubuhnya, memegang pahanya dan memasukan jarinya di--

Oke, cukup. Sekarang dia malah terdengar seperti perjaka tak laku yang frustasi ingin digagahi.

Jimin bergumam di bawah napasnya tapi, sepertinya, itu menarik perhatian sang bocah yang bisepnya dijadikan pegangan. Ia menengok pada Jimin, dengan mata bulat penuh binar tanya. "Aku Jungkook, omong-omong. Siapa namamu?"

"O-oh. Panggil saja aku Jimin."

Hanya sampai segitu. Karena setelahnya Jungkook tak bicara lagi dan Jimin enggan melakukan hal yang sama. Jimin lebih mending diam daripada salah tingkah karena ditatap begitu intens setiap bicara. Menjadikan bisepnya sebagai pegangan saja sudah cukup membuat Jimin gemetaran, apalagi kalau mereka bercakap dalam jarak sedekat ini. Bisa-bisa Jimin mati di tempat.

Dan, akhirnya (akhirnya, serius, Jimin seperti menunggu seabad agar ini terjadi), bus itu berhenti. Jimin akhirnya bisa bernapas lega dan segera melepas pegangannya. Tak ingin lagi mengotori pikiran cuma gara-gara hal remeh seperti itu.

"Terima kasih, Jungkook-ssi."

Jimin memberi senyum kecil sebelum ia melipir pergi dan turun melalui pintu depan bus setelah membayar ongkos. Buru-buru memegang jantungnya saat kaki baru menyentuh tanah. Bernapas lega. Jantungnya sudah mulai berdamai dengan tak lagi berdetak ribut, itu lebih baik.

Pemuda itu baru saja mau melangkah ketika tasnya ditarik dari belakang--Jimin hampir kehilangan keseimbangannya sebelum sebuah tangan tetap membuatnya stabil.

"Anu,"--sial, ini si anak sekolahan yang tadi membuat dada Jimin menggelar orkestra--"Apa aku boleh minta nomormu?"

Dan hari itu, Jimin pikir menjadi pendek tak se-sialan kedengarannya.

END

maapkan membuatmu tambah pendek nak Jimin.

Ini berawal dari chat an malam-malam, tentang Park Jihoon dan Ji Chang Wook. Untuk kohai kesayanganqu indhfth
Anggap aja ini sebagai pengganti karna kita gagal kencan hari ini :(
Maap kalo ga sesuai ekspektasi ya nak :(

antariksa ° vminkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang