dawn - vmin

1.2K 197 22
                                    

Hari masih terlalu gelap untuk dimulai.

Orang-orang masih bergelung nyaman di kamar dengan selimut yang membungkus. Masih terjebak dalam bunga tidur yang manis, dan alarm yang dipasang masih belum berdering. Tapi Taehyung bisa melihat beberapa orang yang lewat--seorang bibi dengan kantung belanjaan dari pasar, pemilik toko yang menyalakan lampu di seberang jalan, atau kakek tua yang lari (terlalu) pagi mengitari taman.

Masih terlalu awal untuk memulai kegiatan. Bahkan langit masih biru gelap. Bulan masih bertahta, dan matahari belum terbit dari ujung timur. Namun Taehyung ada di sana, sengaja menunggu satu momen dimana ia hanya akan merasakan ketenangan.

Ketenangan yang menyenangkan.

Dan sekarang ia menunggu itu datang menghampiri dirinya. Hanya ditemani angin yang berembus, dan kicau burung yang masih terdengar samar-samar. Juga menanti seseorang yang akan muncul dari ujung gang, mengenakan syal merah dan akan mengomelinya ketika ia sampai di hadapan Taehyung.

Kelopaknya menurun. Matanya terpejam dengan ritme napas yang teratur. Punggung sepenuhnya bersandar pada bangku. Kepala mendongak, menghadap langit biru dengan awan yang bergerak. Menanti semburat jingga muncul di ujung timur.

Hingga suara langkah dari ujung jalan membuat Taehyung membuka matanya lagi. Menoleh ke asal suara dan menemukan seseorang dengan mantel coklat juga syal merah yang menggantung di leher. Berjalan mendekat dengan perlahan, menyembunyikan sebagian wajahnya dalam lipatan merah wol-wol halus itu.

Dia Park Jimin. Tapi Taehyung lebih senang menyebutnya sebagai 'Bulan'.

"Tidak di tempat biasa, eoh?" Tanyanya dengan suara yang melengking. Dahi berkerut dan sebelah alis yang naik. "Aku mencarimu dimana-mana tau! Ternyata ada di sini."

Jimin memberenggut. Raut wajahnya terlihat kesal tapi tetap tak menghentikannya untuk duduk di samping Taehyung. Pemuda yang lebih tinggi hanya menyengir, merasa berhasil mengerjai Jimin.

"Menyelinap lagi? Tidak ketahuan?"

Pemuda itu menggeleng, kemudian menghela napas panjang. "Tidak. Tapi kupikir dia sudah tau tentang hal ini."

Taehyung tak membalas. Kini ia sudah sepenuhnya menoleh pada yang lebih kecil, menatapnya dengan intens. "Kamu seharusnya tidak menemuiku lagi, Jimin-ah. Saat itu harusnya yang terakhir."

"Dan membiarkanmu sendiri menikmati fajar, begitu? Kamu sendiri yang bilang kalau hal seperti ini tidak boleh dilewatkan."

Taehyung tak bersuara pada beberapa detik pertama hingga ia membalas, "Ini akan jadi jam empat terakhir yang kita lewati, Jimin-ah. Aku tidak akan menikmati fajar lagi, dan kamu tidak perlu menyelinap lagi untuk kembali sebelum jam enam."

Park Jimin terdiam. Menolehkan kepalanya ke arah lain agar terlepas dari tatapan pemuda itu. Sengaja tak menjawab, aksi lain dari tak mau mendengar apapun yang Taehyung katakan.

Itu jelas sebuah penolakan halus.

Itu jelas sebuah tanda kalau Kim Taehyung sudah menyerah.

Itu jelas sebuah kebohongan besar juga.

Tapi apa yang dikatakannya mungkin memang benar. Kalau Taehyung memang harus melepaskan Jimin, dan dia sendiri juga harus menjauhi pemuda itu. Dan mungkin mereka akan bersikap selayaknya orang asing yang tak pernah saling mengenal, langkah mulus jika itu berhasil dilakukan.

Namun, Jimin tau ia belum siap--mereka tidak siap.

Karena nanti, tidak akan ada lagi seseorang dengan syal merah yang muncul dari ujung gang. Nanti, tidak akan ada lagi pemuda payah yang duduk di bangku taman. Nanti, tidak akan ada lagi mereka yang sama-sama menunggu jam empat dan berharap matahari segera menyingsing.

Tidak akan ada lagi. Dan Jimin benci pada fakta itu.

"Apa Jungkook memperlakukanmu dengan baik?"

"Ya," balasnya pelan. "Tapi tak sebaik dirimu. Kau tau itu."

Kemudian hening itu muncul lagi. Kali ini lebih lama, seakan betah menempati ruang di antara mereka. Hanya ada suara samar dari kicau burung yang tak pernah mereka tau jenisnya. Hanya ada angin subuh yang melesak masuk menembus mantel yang mereka pakai. Hanya ada langit dengan sedikit semburat jingga dan merah muda di ujung timur.

Bulan pelan-pelan merangkak turun. Satelit bumi itu perlahan terbenam di barat, hingga bentuk bulat putihnya nyaris tak tertangkap lagi oleh netra Taehyung. Bintang fajar yang sedari tadi dinanti mulai muncul dengan cahaya jingga yang lemah. Belum bisa dibilang terbit, karena baru terlihat separuh sinarnya.

Taman tempat mereka terdiam tak lagi terlalu gelap. Remang-remang karena radiasi cahaya matahari belum mencapai permukaan. Dan suara burung itu tak lagi singular, ada banyak suara hingga menciptakan lagu tersendiri yang mampu membuat mereka tenang.

"Taehyung-ah."

"Hm?"

Taehyung menengok ke arah pemuda itu ketika ia tak menjawab lagi. Menemukan kalau kepalanya menunduk, dan bahunya bergetar pelan. Terdengar isakan yang mengalahkan suara burung-burung itu di telinga Taehyung. Dan Taehyung tak perlu menebak dua kali.

Jimin menangis.

"Hei."

Pemuda berkulit tan itu mendekat. Langsung melingkarkan lengannya pada tubuh yang lebih kecil. Membawa kepala bersurai merah muda itu untuk bersandar di dadanya. Penebusan dari rasa bersalah yang mendadak muncul.

"Maafkan aku," katanya. Sebelah tangan mengusap helaian merah muda itu pelan. "Kita tau ini tak akan bisa dilanjutkan lagi."

Tapi Jimin masih tetap terisak. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan kalau ini mungkin saja akan benar-benar menjadi jam empat terakhir yang mereka lewati bersama.

"Tapi kau harus tau kalau matahari akan selalu merindukan bulannya."

Dan kemudian ia memegang dagu itu. Mengangkat wajahnya agar berhadapan dengan kedua netra yang saling tatap--menyalurkan perasaan tanpa harus berkata.

Lalu Taehyung mendekat, memberikan kecupan di bibir itu berkali-kali. Melumat dalam penuh perasaan yang tak akan bisa diungkap kata-kata. Dan Jimin hanya bisa membalasnya. Dengan pipi panas penuh jejak air mata yang sudah berhenti mengalir.

Tepat ketika ponsel Taehyung bergetar, ia melepasnya. Tau kalau itu tanda kalau mereka harus berhenti.

Sekarang jam empat. Separuh matahari sudah muncul di ujung timur. Terlihat dari balik gedung-gedung pencakar langit. Semburat jingganya perlahan mengisi kekosongan yang ada di sana--yang ada pada mereka.

Burung-burung lebih sering berkicau. Mengisi pagi itu dengan suara bising yang menyenangkan. Temperatur sedikit naik, menghangat ketika penguasa pagi itu muncul.

Dan mereka di sana. Saling bertatapan dengan berbagi pelukan. Menyadari kalau itu mungkin saja yang terakhir kali mereka bisa lakukan.

"Kuantar pulang?"

Mereka biasanya akan berlama-lama di sana. Mengulur-ulur waktu dengan menghitung berapa lama waktu yang mentari butuhkan untuk melewati gedung-gedung tinggi itu. Tapi, sekarang, tidak lagi.

Hari itu adalah fajar terakhir yang mereka lewati bersama. Dan Kim Taehyung tak pernah menyesal walau telah kehilangan.

 Dan Kim Taehyung tak pernah menyesal walau telah kehilangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Re-post dari Moonlight Sonata. Dan ga ada yg berubah sama sekali.

antariksa ° vminkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang