-Dua-

241 117 80
                                    

Ayam berkokok lebih awal dari biasanya, wajah langit pun seakan berwarna lebih cepat dengan datangnya sang mentari di ufuk timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayam berkokok lebih awal dari biasanya, wajah langit pun seakan berwarna lebih cepat dengan datangnya sang mentari di ufuk timur. Silau cahaya pagi pun menembus masuk ke dalam sebuah kamar melalu celah kecil yang tidak terlalu besar. Udara di luar sepertinya segar, karena sepagi ini belum banyak kendaraan berlalu-lalang menyibukkan diri mereka.

Reanda Abizard Fahrezzel, seorang pria berjambang tipis yang sedari subuh tadi sudah terjaga karena harus melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dia tengah duduk di kursi depan televisi, menyaksikan acara berita pagi hari ini sebelum memulai aktifitasnya seperti biasa. Sesekali, Reanda sapaan akrab pria itu mengunyah dan menelan beberapa cookies dan meneguk susu coklat setelahnya. Mungkin ini bagian dari sarapan oleh Reanda.

Setelah merasa cukup kenyang, ia bergegas menuruni anak tangga. Ya, dia akan bekerja hari ini, sepagi ini. Reanda adalah seorang pewaris salah satu perusahaan property disini. Tetapi, ia belum tertarik akan hal itu. Ia lebih memilih untuk membuka distro di sebuah sentral perdagangan kota. Dan distro tersebut telah memiliki dua cabang di lain kota.

"Mama.." Reanda menuruni anak tangga menuju lantai dasar rumahnya, memanggil Mama. Evi yang kala itu berada di ruang keluarga bersama dengan Erhan langsung menghampiri putra kebanggaan mereka.

"Iya sayang. Kamu mau kemana pagi - pagi, gini?" Mama mengajukan pertanyaan kepada putra semata wayangnya, disertai senyum dan sedikit belaian di rambut yang basah karena air selepas mandi tadi.

"Reanda mau ke distro dulu. Ngecek - ngecek aja, sore Reanda pulang kok." Pria itu memberi kepastian agar Mamanya tak cemas. Dan dibalas dengan senyuman setelah Reanda menyalami Mama tanda pamit.

Reanda berjalan menuju arah pintu depan, didapatinya Papa sedang membaca koran dan sesekali meneguk kopi hitam buatan Mama. Kemudian ia mencoba pamit juga kepada orang tua laki-lakinya.

"Pa. Reanda pergi dulu ya." Pria itu pamit kepada Papanya yang berhidung mancung, maklum Papa Reanda asli pria Turki.

"Eh bocah kebanggan, Papa. Iya nak, jangan kemalaman pulangnya." Papa masih saja menyebut Reanda sebagai bocah, ini dikarenakan manjanya Reanda kepada kedua orang tuanya, tetapi dia masih bisa mandiri, dan berkeinginan sesuai perintah hatinya, bukan perintah orang tuanya.

"Dah Pa, Ma!" Reanda sedikit melambaikan tangan dan tersenyum ikhlas, kemudian pergi meninggalkan rumah dengan motor satria merah miliknya.

***

Rasa sakit bekas terjatuh dari motor akibat tersenggol itu makin kuat terasa hari ini. Mea yang sedari tadi hanya bisa rebahan mulai berteriak meminta sarapan, cacing di perutnya sudah melakukan aksi demo. Namun, beberapa kali Mea melantangkan suaranya, tidak ada jawaban sama sekali di bawah sana, hening seperti tidak ada orang, hanya dirinya sendiri.

REASHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang