2. Impromptu

24.1K 3.2K 169
                                    

Masih dalam scene menyusuri kota Seoul di malam hari. Aku jadi tidak perlu menjelaskan lagi kan bagaimana keadaannya. Intinya ini adalah kehidupan Kim Taeri! Kalau-kalau aku menjadi vloger rasanya tidak akan ada yang mau menonton karna terlalu membosankan.

Tapi perlu ditekankan, aku bukanlah gadis nerd atau baik-baik yang penuh dengan kesempurnaan. Atau aku memang sempurna, menurutku. Iya, karna kesempurnaan abadi hanya milik Tuhan, sekian.

Hanya saja aku terlalu cari aman. Jadi aku juga masih tahu batasan walau kadang bahkan di otakku masih sering berpikir tentang pemberontakan. Seperti membunuh orang-orang yang semena-mena pada orang yang lebih lemah.

Tentu itu bukan sekedar pemberontakan. Vandalisme. Kelewat bar-bar dan tidak manusiawi. Maka aku tidak akan melakukannya.

Omong-omong tentang bunuh-membunuh, aku mengerti bahwa kehidupan orang itu berbeda-beda. Tapi aku adalah salah-satu yang tidak ingin hidupku terbuang sia-sia —maksudku aku adalah tipe yang akan mempertahankan nyawaku dengan segenap kekuatan. Tidak seperti orang yang berada di depanku sekarang.

Iya, kalian tidak salah baca.

Biar aku jelaskan lokasiku. Aku sedang berada di pinggir jalan dengan penyangga pagar besi--atau semen? -pada jembatan yang sisinya menjorok ke aliran sungai han panjang. Dan yeah, orang yang aku bilang sedang berdiri di sisi pagar pembatas itu siap meluncur bebas ke sana.

Sial mengapa aku harus berhadapan dengan situasi begini dan saat ini benar-benar sepi. Harusnya aku tidak usah peduli tapi sayangnya sisi kemanusiaanku terlalu mendesak. Menyebalkan.

"A-agassi, t-tenang dulu. Apapun itu kau bisa menceritakan padaku dan aku akan membantu mu." Aku mendekat dengan hati-hati.

Gadis itu menoleh padaku. Dia cantik sekali. Walaupun sekarang air mata telah membuat segalanya terlihat kacau. Jelas dia begitu frustasi. Kelewat frustasi.

Tentu saja karna dia mau bunuh diri.

Dia hanya menggeleng. "A-aku tidak butuh bantuan apapun. Semuanya sudah terlambat. Aku tidak pantas hidup lagi dengan semua ini. Tidak bisa."

Aku tercekat nyaris tidak bisa bernapas karna mendengar itu. "T-tidak ada kata terlambat." Perlahan aku mendekat sampai benar-benar berada di sampingnya.

Tapi semakin aku mendekat dia malah loncat begitu saja. Dengan sigap aku memegang tanganya. Begitu erat mencegahnya jatuh. Sampai tubuhku ikut condong karna terlalu berat menahan.

"Kau tidak boleh seperti ini! Jangan konyol! Apapun masalahmu tidak ada kata terlambat! Aku akan membantumu!" Teriakku panik ketika dia berusaha melepas pegangan tangannya.

"K-kau akan m-membantuku?" Tanya nya terbata-bata karna napasnya terengah –tercekat.

Aku buru-buru mengangguk. "Tentu! Tentu!"

"Kalau begitu balaskan dendamku pada mereka."

Keningku berkerut. "M-mereka?"

"Mereka berdua."

Baiklah permintaan macam apa ini dan aku sendiri tidak mengerti maksudnya.

"K-kita bisa bicarakan di atas," kataku lagi. Tentu saja siapa yang mau membalaskan dendam? Yang terpenting adalah menyelamatkan dia dan memberikan pada keluarganya.

"Ciara."

"Ha?"

"Namaku Ciara."

Dan saat itu dia benar-benar melepaskan tangannya. Jatuh ke dalam sungai yang dalam itu begitu saja. Dari ketinggian yang bahkan tidak ingin aku ukur berapa. Aku berteriak kencang sekali. Bahkan sampai terjatuh karna lututku begitu lemas. Begitu takut dan syok.

Aku baru saja membiarkannya mati.

Aku menutup kedua wajahku dengan tangan yang gemetar. Rasanya bahkan untuk mengeluarkan suara apapun tidak sanggup. Tubuhku kaku tak dapat begerak dengan napas terengah dan mata membulat lebar seperti kesetanan. Panik dan sesak.

Sampai sebuah mobil melesat begitu kencang. Kelewat kencang dan menghantam tubuhku.

Aku mati.

***

Never Have I ever ✓Where stories live. Discover now