CHAPTER 9

128 10 0
                                    

Audi hitam milik Harry berlaju dengan kecepatan normal seperti biasa, kali ini audi berjalan ke arah Green Suit setelah sebelumnya ia berhenti ke sebuah rumah makan untuk kudapan di siang hari. Pengalaman seharian ini tidak mungkin dilupakan oleh Harry, ia masih ingat betul bagaimana ia bermain dengan anak-anak ceria yang sebenarnya sedang sakit, tapi mereka punya semangat yang luar biasa besar, salah satu dari mereka bernama Crissy. Saat anak kecil itu tersenyum, Harry merasakan dorongan keras untuk ikut tersenyum, Crissy sama sekali tidak terlihat seperti seorang pengidap kanker. Selain beragam kegiatan itu, pencerahan di ruang rapat tentang diskusi Mena dengan Mrs. Stephan yang membahas tentang pendanaan beberapa rumah sakit yang terbengkalai di Afrika membuat Harry sekali lagi dibuat terkejut. Ia seperti tertampar tepat di pipinya membayangkan apa yang selama ini dirinya lakukan dengan hanya bisa menghamburkan uang orang tuanya dengan menginap semalaman di dalam klub malam bersama lusinan jalang. Rob yang ia anggap pengekang paling sadis sedikit dibenarkan oleh hati kecilnya. Meskipun Rob bukan ayah kandung Harry, dan itu sebenarnya yang membuat Harry kurang nyaman. Uang memang bukan segalanya, terutama dalam hal ini uang yang berlimpah dari orang tuanya ternyata lebih dibutuhkan oleh masyarakat Afrika yang begitu mendambakan kehidupan layak dengan kesehatan yang berlimpah melalui pelayanan rumah sakit yang memadai.

Roda mobil membawa keduanya masuk ke dalam aspal parkir suit, seorang petugas valet datang mengambil alih kunci dan memarkirkan audi ke tempatnya, Harry mulai terbiasa hidup di dalam Green Suit milik Mena, meskipun baru semalam ia bermalam disini namun rasanya berbagai ilmu sudah ia dapat secara cuma-cuma. Setelah mengetahui lebih detil apa yang Mena kerjakan, ia semakin merasa begitu rendah, bukan... bukan rendah dalam finansial atau kedudukan, melainkan ia terlalu buta dengan hal-hal yang bersinggungan dengan kehidupan sosial yang sebenarnya. Ia dan Mena bagaikan dua orang yang bertolak belakang. Mena seorang penolong dan Harry seorang bajingan yang patut dimusnahkan.

"sebenarnya kau tak perlu menemaniku seharian, sampai-sampai membolos kuliah..." Mena terkikik kemudian, merasa ada yang lucu.

"tidak apa-apa, lagipula kau sudah menguliahiku seharian ini." cengir Harry, keduanya berjalan menuju kamar suit, selagi Mena meletakkan prada hitam tali panjang di atas meja vinyl, Harry merogoh saku jeansnya, kedua mata yang melingkupi manik hijau kebiruan yang benderang itu memicing. Otaknya berseruak memutar beberapa jadwal yang telah ia lewatkan. Sialan. Dahinya berkerut tajam. Sungguh ia sangat ceroboh, bagaimana ia bisa melupakan jadwal latihan band untuk yang terakhir kalinya menjelang prom nanti malam? bahunya menegang seketika, menghitung jumlah panggilan tak terjawab ada dua puluh tujuh, nama Zayn dan Liam terus berderet tiada henti disitu, dan oh ya Tuhan Simon, lelaki itu sepertinya menghabiskan waktu sehariannya hanya untuk menelepon Harry. Ini benar-benar bencana besar. Selain panggilan tak terjawab, terdapat banyak pesan singkat dan juga pesan suara yang sudah jelas Harry yang sekarang ciut tak berani membukanya. Ingin sekali ia berkata kasar, mulutnya gatal ingin memaki. Mena menangkap kegelisahan itu.

"ada apa Harry?" Mena bersuara menangkap keanehan yang ditunjukkan oleh temannya. Pria itu seakan dipanggil oleh sebuah suara ghoib yang mengharuskannya untuk menoleh dan menjawab suara cantik yang terdengar begitu khawatir.

"Simon, latihan bandku untuk nanti malam. OH Sial..." jawab Harry terburu, pria itu memutar ponselnya melingkar melalui jemarinya. Sedang menimbang sesuatu.

"ya Tuhan... sudah kuduga aku tidak seharusnya mengajakmu ke panti. Maafkan aku Harry."

"tidak Mena, tidak apa-apa, aku harus segera pergi. Sampai jumpa" ujar Harry meraih jas hitam yang ia selampirkan di sandaran sofa putih leter L yang tersebar di tengah ruangan. Sementara Mena masih diam merasa tidak enak, Gadis itu mendengus kelelahan kemudian meneruskan langkahnya menuju tempat tidur, lantas membanting tubuh jenjangnya tenggelam di atas kasur, membiarkan kelembutan kasur membuat tubuhnya memantul seperti bekel. Kedua tangannya terlentang melebar, kedua kakinya masih menyentuh lantai granit. Ada yang aneh bergetar di dadanya, seakan ada sebuah makhluk ganjil yang menghuni jantungnya dan menabuh gendang tiada henti. Hidungnya yang mancung masih bisa mencium aroma tubuh Harry di atas kasur ini, membayangkan bahwa tadi malam adalah malam yang sempurna baginya, ia dan Harry tidur satu ranjang, dan tidak... mereka tak melakukan apapun selain tidur. Telinganya yang peka dan tajam, masih bisa mendengar dengan jelas suara napas pria berambut keriting itu, irama napas yang berhembus teratur mengirimkan ketenangan paling menjanjikan di dunia ini. Tidak diragukan lagi bahwa rasa cinta mulai tumbuh dan bersemi begitu pesat di dalam dadanya, tapi tunggu dulu... jangan katakan bahwa gadis ini benar-benar jatuh cinta kepada Harry Styles, pemuda asing yang baru ia temui seminggu yang lalu dan kenal akrab baru semalam. Tapi wanita mana sih yang tidak akan jatuh hati dengan Harry? Oh tidak Mena... lupakan perasaan itu, hati kecilnya berujar membentak. Segala jenis pemikiran yang bersalto di dalam medulla oblongata-nya dipaksa hilang, kemudian lenyap seketika seperti kibasan tangan yang menghilangkan kepulan asap, sebuah ketukan di pintu mengalihkan konsentrasinya, alis tebalnya mengernyit seketika sembari mencoba menebak siapa yang bertamu siang ini.

OBSTACLES (REUPLOAD)Where stories live. Discover now