Kesepakatan

5.7K 763 105
                                    

"Di bawah rembulan, di antara angin yang berhembus pelan, kita saling bercengkrama tangan, berharap semua angan kian menjadi harapan."


****

Kupikir dengan melarikan diri ke rumah mertuaku adalah ide yang bagus tetapi kesialanku bertambah dua kali lipat. Mama mertuaku memaksa agar William juga bermalam hari ini (yang artinya kami akan satu kamar karena baik William maupun diriku tidak mungkin mengungkapkan kebenaran yang telah terjadi di antara kami kepada mereka). Shit! Ini adalah satu hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku.

Kami akan tidur seranjang? OMG. Ini bukan ide yang bagus. Totally not!

"Apa yang kamu pikirkan?" William mengejutkanku dengan berdiri di sisi kananku. Aku hampir terjatuh jika saja William tidak menahan tubuhku dengan melingkarkan tangannya di pinggangku. Kedua pasang mata kami beradu. Napas beratnya berhembus mesra di wajahku. Seolah ada magnet yang menarik kami, aku tidak bisa berpaling dari wajah tampan suamiku (yang baru melukaiku). Bibirnya yang merah membuatku menahan napas. Apakah William sempat menyapukan lipstick di bibirnya? Oke. Mari lupakan itu. Karena William tidak mungkin menyapukan lipstick di bibirnya. Laki-laki itu terlahir sempurna! Oh!

Aku merasakan degupan jantungku yang kian mengencang saat William mendekatkan wajahnya padaku. Bibir kami nyaris bersentuhan jika saja aku tidak tiba-tiba mengingat cara William melukaiku dengan begitu dalam.

"Dasar buaya darat! Minggir kamu!" aku menggerutu kesal setelah berhasil mendorong jauh dada William. Laki-laki itu menempelkan bokongnya di atas kasurnya sambil menatapku yang sedang menyisir rambutku di depan cermin. Oh Tuhan! Bulu kudukku berdiri. Aku tahu apa yang ada di pikiran William tetapi aku tidak sudi melakukan itu dengannya lagi. Ralat, kupikir kami akan bercerai.

"Hentikan tatapanmu itu. Aku tidak sudi melakukannya denganmu." tuturku sinis

Sebelah alis William terangkat. Laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya saat aku mengambil bantal dan selimut dari sisinya untuk kugunakan di sofa kamarnya. Tidak lupa kunyalakan AC dengan suhu yang dingin. Oh? Apakah ini tidak terlalu dingin? Pikirku sambil mengusap lenganku. William mungkin akan mengigil tengah malam nanti. Gagasan itu membuatku sedikit bergembira. Rasakan itu!

"Kamu akan tidur di sana?" William bersuara. Aku memutar kedua mataku dengan kesal.

"Bukan urusanmu. Tidur saja dan berhenti urusi diriku." balasku sambil menutup sekujur tubuhku dengan selimut. Satu detik, dua detik, tiga detik, oh! aku tidak mampu tidur dengan menutupi sekujur tubuhku. Ini namanya penyiksaan. Ugh.

Kedua mataku membulat menemukan William telah berdiri tepat di sisi kananku saat aku menarik selimutku. Tetapi aku berpura-pura tidak melihatnya lalu tidur membelakangi posisi William berdiri di sisi kananku.

"Kamu bisa tidur di sana. Aku akan tidur di sini."

Aku memutar kedua bola mataku lagi. Lagi, lagi! Aku menggeram dalam hati.

"Jangan mengangguku."

"Tubuhmu bisa sakit kalau tidur di sofa. Biarkan aku yang tidur di sini."

"Apa urusanmu?"

Aku mencampakkan selimutku lalu bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa aku mengikat rambutku, berniat agar tidur di kamar Christy saja tetapi William menarik tanganku. Laki-laki itu memijit pelipis kepalanya sambil menunjuk kasurnya dengan dagunya.

Fool AgainМесто, где живут истории. Откройте их для себя