Trevin memaksa dirinya maju dan menembak lagi. Menajamkan pandangan, dari bayang-bayang yang kadang dibuat cahaya bulan yang hilang timbul, dia sudah bisa mengira dari mana dia harus menyerang. Cengkramannya pada gagang pistol begitu kuat, membuatnya malu sendiri. Dia memegang senjata sekuat ini saat pertama kali latihan. Tak bisa rileks. Amatiran.

Degup jantungnya berpacu, aliran darahnya serasa dipompa tiga kali lebih cepat. Pemicu Trevin begitu hebat.

Langkahnya mendadak berhenti saat di depannya, berjarak seratus meter darinya, seseorang berdiri. Seperti menunggunya. Pistolnya mengarah pada Trevin, tahu Trevin akan menuju padanya. Trevin menegakkan badan, mengangkat pistolnya. Dia berhasil mengelak saat lelaki itu membuang satu pelurunya untuk Trevin. Dengan ini, Trevin tak bisa menunggu. Tak dia biarkan lelaki itu sempat menarik pelatuk yang kedua karena dia sudah melepas miliknya. Tak sesuai dugaan Trevin, tapi tembakan di tulang selangka, alih-alih di jantung- membuat lelaki itu ambruk dengan rintihan. Suara yang membuat Trevin kedatangan yang lainnya.

Berlindung di balik pepohonan, dia mengusap wajahnya. Dan pohon itu menjadi sasaran tembak penyerang. Punggung Trevin seperti ditusuk-tusuk saat peluru itu menghantam badan pohon.

Dia menggeser tubuhnya untuk jatuh di tanah, melepas satu tembakan tepat sasaran. Satu jatuh dan Trevin hanya menyisakan satu lagi.

"ARAH BARAT!" seru seseorang. "HABISI MEREKA!"

Lagi, peluru mendesing. Bertalu-talu, mencampur bau di udara. Bau timah, asap, dahan segar, dan hujan. Trevin terjatuh saat tak sengaja menabrak akar pohon demi mencapai Nades. Dia harus membawa Nades menjauh.

"Berdiri! LARI!" seru Trevin saat dia sudah bisa melihat sosok Nades. "Nades. Please."

Satu ranting pohon menyabet wajah Trevin, menggoreskan sakit luar biasa perih di batang hidungnya. Nades berdiri, mengulurkan tangan padanya. Ditarikanya tangan Nades kuat dan dia bawa lari, memutar untuk mengelabui. Lalu, seruan dari jauh untuk berpindah arah terdengar lagi. Mereka membaca tujuan Trevin. Tahu bahwa lelaki itu mencoba mengecoh. Ada puluhan orang, Trevin yakin.

Pada bagian hutan yang lebih landai, tanahnya lebih lembut, namun lebih terbuka. Di situlah Trevin sekarang. Vegetasinya berupa pepohonan muda yang tak terlalu tinggi, namun tetap rapat.

Demi Tuhan, bagaimana ini? Jed, I am fucking sorry! Nades, I am really a bad company!

"Trevin!" seru Nades saat dia sudah tak sanggup lagi. Dia meraung.

Dan bukan teriakan Nades yang menghentikan Trevin. Tapi, tiga lelaki yang sudah menunggunya. Ada di depan mereka. Dengan bayang-bayang pohon muda, mereka dua kali lebih mengerikan, seperti bersayap tajam dan berwarna hitam.

Tak ada waktu lagi. Trevin maju, menerjang salah satunya hingga jatuh. Lalu, satu tembakan dia lepas pada lelaki yang hendak menangkapnya. Lelaki satunya menerjang punggung Trevin, membuat lelaki itu terjerembap ke dalam kubangan. Trevin meringis saat wajahnya dibenamkan dalam kubangan itu.

Satu lelaki yang sempat diterjang Trevin bangkit, memelintir tangan lelaki malang itu ke belakang, membuat Trevin berang. Saat kepalanya ditarik naik, dia terbatuk-batuk. Air kecokelatan keluar dari mulut dan hidungnya.

"Fuck you!" ujarnya seraya kembali menurunkan kepala Trevin.

Kilat menyambar, memberi sinar sekejap pada keadaan Trevin. Kedua lelaki itu mengerjai Trevin seperti binatang. Nades melepaskan tas, membukanya. Tubuh Nades bergetar. Telinganya menangkap tembakan di belakang sana, saling membalas. Erangan Trevin membuat Nades menguatkan dirinya. Dia melihat bagaimana cara Trevin menjalankan jemarinya pada benda kecil di tengah lingkaran itu. Lalu, menarik bagian atasnya.

On The Way To The WeddingWhere stories live. Discover now