Polisi tadi langsung beranjak dari duduknya. Dan melangkah ke arah pintu. Sedangkan Melati sendiri kini memegang lengan kanannya yang telah di perban. Rasa ngilu makin terasa. Lengannya terasa terbakar. Mungkin karena efek obat biusnya sudah habis, pikir Melati dengan murung.

"Silahkan Letnan, Bu Melati akan memberikan keterangannya. "

Suara polisi tadi membuat Melati langsung mengalihkan tarsoannya lagi. Tapi dia terhenyak saat melihat siapa yang ada di sebelah polisi tadi.

Nafasnya terasa tercekat. Udara di sekitarnya berhenti. Jantungnya berdegup liar. Dan pandangannya mengabur.

"Melati."

"Marvino."

Untuk sesaat mereka hanya saling menatap. Tapi kemudian Melati memalingkan wajahnya. Tahu, kalau dia sudah tidak bisa menahan tangisnya. Pria di depannya ini tiba-tiba muncul lagi. Salah satu faktor dia pergi dari kota kelahirannya dan meninggalkan semua keluarganya adalah pria ini.

"Kalian sudah saling kenal?"

Melati mendengar polisi tadi mengucapkan sesuatu. Tapi dia tidak bisa mengucapkan apapun lagi. Lidahnya kelu. Dan dia tidak sanggup menoleh ke arah Marvino.

"Letnan Kumbang."

"Owh maaf. Iya. Dia adikku."

Pernyataan Marvino itu membuat Melati langsung menoleh ke arah pria yang kini tampak gagah dengan seragamnya. Wajahnya tapi lebih tirus dari 5 tahun yang lalu. Tubuhnya makin terlihat berotot. Hanya saja pria ini masih sama seperti pria yang dulu. Masih dingin dan kejam.

"Tidak menyangka dia adikmu. Bukankah kamu bilang tidak mempunyai saudara di kota ini?"

Tentu saja Melati menahan nafas seperkian detik menunggu jawaban Marvino. Tapi pria itu kini melangkah ke arah kursi lipat yang ada di samping meja, dan langsung duduk di sana. Tampak sangat mengintimidasi.

"Dia adik almarhum istriku."

Jantung Melati benar-benar mencelus saat mendengar itu. Ada duka dalam suara Marvino saat mengatakan ' istriku'.

Kakak kandungnya. Yang meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Itulah penyebab Melati lari dari semuanya.

"Baiklah. Ini akan mudah. Sementara aku tinggalkan kalian berdua biar bisa lebih enak."

Melati sebenarnya tidak setuju dengan ucapan polisi tadi. Tapi dia tak berdaya saat akhirnya dia hanya tinggal berdua dengan Marvino. Pria itu menatapnya tajam. Sikapnya masih terlihat angkuh dan mendominasi.

"Apa kabarmu."

Pertanyaan dingin itu membuat Melati kini hanya menatap mantan kakak iparnya itu.

"Aku baik-baik saja sejauh ini."

Jawabannya juga tidak kalah ketus. Dia mengamati Marvino kini bersedekap di depannya.

"Tidak baik-baik saja untuk keluarga yang kamu tinggalkan. Ayah dan ibu menangisi kepergianmu. Kamu pergi begitu saja, membuat semua orang bingung. Kematian Mawar sudah merupakan pukulan buat kita semua. Tapi kamu begitu kekanakan dengan lari dari rumah. Dan tak meninggalkan jejak. Kamu menyiksa ayah dan ibu. "

Melati hampir tersedak oleh rasa yang tertahan di kerongkongannya. Ingin dia menangis meraung seperti dulu. Saat melihat kakaknya tertabrak mobil di depannya. Kakak yang sangat dicintainya itu terkapar di jalan dan berdarah.

"Sudah 5 tahun. Aku yakin ayah dan ibu juga sudah menganggap ku mati."

Ucapannya yang sinis itu membuat Marvino berdiri. Kakak iparnya itu, Kumbang Marvino Saputra. Adalah seorang yang tampan. Kakaknya sangat beruntung mendapatkannya.

Dulu, Melati menangis seharian saat mendapati Ayahnya menjodohkan Kakaknya dengan Kumbang. Bukan karena dia iri, tapi ayahnya tidak tahu kalau Kumbang adalah kekasih hatinya. Pria yang diimpikannya menjadi suaminya.

Hanya saja impiannya itu langsung terenggut saat ayahnya membeberkan pertunangan Kak Mawar dengan Kumbang yang sudah di rancang sejak kecil.

Tentu saja kakaknya langsung menerima, dan Kumbang tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya. Karena dia merasa berhutang Budi. Kumbang adalah anak angkat dari keluarga Wiryawan. Keluarga itu tidak mempunyai anak dan memungut Kumbang dari panti asuhan. Keluarga Wiryawan bersahabat baik dengan keluarganya.

Karena mereka bertetangga, dan sejak kecil sudah saling mengenal. Kumbang memang menyatakan cinta kepada Melati saat dia masih ada di bangku sekolah dan Kumbang sudah memulai pendidikan polisinya. Melati dan Kumbang sepakat untuk menyembunyikan hubungan mereka, karena tahu Melati tidak boleh berpacaran saat dia belum lulus sekolah dan kuliah.

Hanya saja keputusan itulah yang membuat mereka menelan pil pahit. Karena akhirnya kisah kasih mereka menguap begitu saja dengan pernikahan Kumbang dan Mawar.

"Kamu tidak tahu apa-apa tentang ayah dan ibu. Kemana saja kamu saat ayah menderita stroke di rumah sakit, sehari setelah kamu pergi."

Melati menatap Marvino yang kini sudah berdiri mengancam di depannya. Pria itu setelah menikah dengan kakaknya memang menjadi sosok yang dingin kepadanya.

"Aku...aku..."

Melati mencoba untuk mengeluarkan suaranya. Tapi tenggorokannya terasa tercekat. Dan air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tidak kuat bila harus di tekan dengan keadaan ini. Sudah 5 tahun dia mencoba merepih dan menepi.

Kematian kakaknya adalah salahnya, dan kedua orang tuanya menyalahkannya. Semua itu menjadi beban yang berat untuknya.

"Aku mohon."

Melati menangis terisak. Dia lelah dengan serentetan kejadian tadi pagi. Dan semua tubuhnya masih begitu sakit. Kini setelah 8 jam berlalu harusnya dia sudah berada di rumahnya dan meringkuk di atas kasur.

"Aku tidak akan melepaskanmu Mel. Tidak akan lagi. Apalagi sekarang bahaya sedang mengincarmu."

Ketakutan jelas tercetak di wajah Melati. Dia tidak mau. Tidak mau lagi berada dalam orbit Marvino. Pria dingin yang tak berperasaan.

Bersambung

Hello Eni bady hume wkwkwkkw cerita baru lagi yang membawa genre beda...

Yang penasaran vote dan komentar yaaa

seputih MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang