2

858 16 1
                                    

"Hati yang kosong adalah hati yang memiliki cinta dalam harapan yang penuh kebutaan."

                               ^^^^

       Sepulang melihat matahari terbenam, ayah dan ibu memanggil Asya ke ruang kerja ayah. Asya melakukan itu tanpa mengeluh. Mereka duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Ruangan yang tak terlalu luas tapi cukup nyaman untuk dijadikan ruang pribadi.

       "Tadi siang, Rafli dan keluarganya datang kemari untuk melamar." ibu mengawali ceritanya, ayah Asya hanya duduk dan mendengarkan.

       "Apa salahnya? Itu hal yang sangat bagus." Asya sedikit terkejut, tapi mencoba menanggapi dengan santai. Ibu Asya tak habis pikir dengan sikap Asya, dia hanya bisa menggeleng.

       "Nira menunggumu Asya, dia tidak ingin melangkahimu. Dia memang menerima lamaran ini, tapi dia meminta pengertian untuk melakukan pernikahan di akhir tahun." ayahnya pun terpaksa melanjutkan.

       "Nira bilang, dia bisa saja membatalkan niatnya untuk menikah, jika kamu belum menikah." ibu Asya menambahkan, ekspresinya agak berbeda saat mengatakan itu. Ayah Asya pun sedikit melirik mendengar penjelasan istrinya.

       "Kenapa Nira harus melakukan itu, aku tidak pernah melarangnya melangkahiku!" Asya tak habis pikir mendengarnya.

       "Kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Nira ikut menunggu saat dimana Putera kembali dan melamarmu, tapi hingga saat ini dia harus menelan kekecewaan." ibu Asya coba menjelaskan, "Orangtua Rafli tak bisa menunggu lagi, akhirnya tadi mereka datang."

       "Lalu apa yang bisa aku lakukan, bu?" tanya Asya khawatir. Asya bingung harus bersikap seperti apa dalam keadaan seperti itu.

       "Tak ada cara lain selain kamu menikah." usul Ibu terdengar datar tapi cukup membuat Asya tersentak.

       "Itu tidak mungkin." tolak Asya cepat. Jelas sekali, Asya menolak karena dia masih menunggu Putera, menunggu janji yang terucap dari mulut Putera terealisasi.

       "Kenapa tidak mungkin?" ayah bertanya serius tapi Asya tidak bisa menjawabnya.

                               ****

       Setelah pembicaraan tadi, kuputuskan untuk menemui Nira di kamarnya, menanyakan kejelasan dari penjelasan ibu dan ayah.

       "Aku tidak ingin sisa hidupku terbenani karena melangkahimu, itu saja." alasan yang sengaja Nira buat agar aku tidak terlalu mengkhawatirkannya. Apapun yang Nira katakan, aku tahu niatnya baik.

       Tak perlu banyak bicara, aku sudah mengerti seperti apa Nira.

       Semalaman ini, dua hal yang bertolak belakang terus bergejolak dalam benakku mencoba saling membenarkan. Aku tahu mengapa ayah dan ibu menyuruhku untuk menikah. Nira sudah dilamar oleh Rafli, aku akan menjadi penghalang pernikahan mereka jika aku tetap berkeras.

       Pada akhirnya, aku menyetujui usulan mereka untuk dikenalkan pada pria yang orangtuaku pilihkan. Nira sangat senang mendengarnya, walaupun masih terlihat keraguan dari wajahnya. Aku bahkan tak tak tahu apa yang tengah kurasakan saat ini.

       "Kamu tak akan menyesal mengenalnya." itu yang ibu katakan.

       "Ayah percaya padamu, jadi tolong jangan buat ayahmu ini kecewa." ayah menambahkan harapan besarnya padaku.

                               ****

       Orangtua Asya telah sepakat melakukan pertemuan keluarga di hari selasa depan. Kedua keluarga memang telah saling mengenal dengan baik sejak lama dan berharap dapat menjalin hubungan yang lebih erat.

       Asya tak banyak protes, dia hanya mengikuti saja. Bagi Asya, melakukan pertemuan pun tak akan terlalu banyak berpengaruh pada pilihannya, karena memang dia tidak punya pilihan lain. Asya hanya tak ingin merusak kebahagiaan Nira, hanya karena kekeraskepalaannya. Segala hal mengenai Putera akan dia kesampingkan sementara, tapi bukan berarti dia melupakan kalau penantiannya belum berakhir.

       Setelah mendengar keputusan Asya, Nira kembali bertanya mengenai keseriusan kakaknya. Dia memang belum benar-benar percaya perubahan mendadak itu bisa terjadi pada Asya yang dia ketahui sangat keras kepala dan selalu teguh pendirian, baik itu salah ataupun benar.

       "Kak, apa kakak yakin dengan keputusan ini?" tanya Nira setelah mengetahui keputusan Asya yang begitu mendadak.

       "Tentu saja aku yakin. Mana mungkin aku setuju, jika aku memang tak yakin." jawab Asya meyakinkan, padahal hatinya sendiri mengatakan hal yang sebaliknya.

       Nira jelas saja sangat bahagia akan keputusan yang diambil Asya, tapi sebaliknya Asya justru sama sekali tak bahagia. Akan seperti apa masa depannya tanpa cinta dan perencanaan seperti itu. Mimpi yang Asya harapkan selama ini adalah membuat keluarga kecil bahagia bersama pria yang dicintainya namun mimpi itu telah pudar termakan waktu.

       Asya masih bisa mencoba menunggu Putera, tapi waktu tak akan bisa menunggu. Seiring berjalannya waktu, dia akan menua dan orangtuanya tak mungkin diam saja melihat hal itu.

       Sekalipun pertemuan sudah ditentukan, tapi Asya tetap melakukan kegiatan sore harinya dengan menikmati senja menunggu disaat terakhir berharap ada keajaiban untuknya.

       Hingga tak terasa hari itu pun tiba, pertemuan keluarga. Orangtua Asya telah menunjukkan foto pria itu, juga memberitahu namanya. Tapi entah pikiran Asya tengah dimana, dia justru tak ingat namanya terlebih melihat fotonya.

My ChoiceWhere stories live. Discover now