16

525 23 0
                                    

"Kejujuran adalah hal yang penting, tapi bukan berarti kita bisa jujur akan segala hal pada oranglain."

                              ^^^^

       Asya merebahkan diri di tempat tidur, sudah dua hari ini dia tidak pergi ke toko karena kepalanya yang pusing. Melihat telepon genggamnya yang tergeletak, tiba-tiba Asya terpikirkan untuk menelepon Aldan. Dia ingin memberitahu kedatangan ibunya beberapa hari lalu, tapi Asya mengurungkan niatnya. Dia belum bisa melupakan kejadian waktu itu.

       Asya memang tidak jadi menelepon Aldan, tapi justru Aldan yang menghubungi Asya. Tanpa menunggu lama, Asya langsung menerimanya.

       "Malam ini, kamu tidak sibuk?" tanya Aldan mengawali. "Sepertinya tidak," jawab Asya ragu.

       "Kamu bisa datang ke cafe tempat pertama kali kita bertemu, kan!"

       "Memangnya ada apa?" tanya Asya bingung. "Aku hanya ingin bicara denganmu. Aku akan menunggumu disana." Hubungan telepon pun di putus sebelum Asya bertanya hal lain.

       Asya tidak mengerti, tapi perasaannya mulai memberi sinyal yang kurang baik. Terlebih masih hangat diingatannya kalau suara Aldan tadi, sama seperti saat mereka bertemu pertama kali, terasa datar dan dingin. Asya menarik napas panjang, "Apa dia tahu!" gumamnya frustrasi.

                              ****

       Naila tengah duduk di depan cermin, untuk melihat penampilannya malam ini. Dia tidak mau mengecewakan suaminya sepulang kerja. Dia sengaja mengenakan pakaian yang paling menarik demi menyambut kepulangan Putera.

       Saat Putera tiba, Naila segera menghampiri lalu merangkul sebelah tangannya. Senyuman Naila terkembang begitu lebar, namun berbanding terbalik dengan sikap Putera yang tidak biasa. Dia bersikap sangat dingin, melepas rangkulan Naila dan lebih memilih masuk ke kamar mandi. Naila yang memang tidak mengerti hanya bisa terdiam.

       Putera menyalakan shower, kepalanya sangat panas. Apalagi mengingat kedatangan Aldan ke kantornya tadi siang. Putera tidak mungkin salah mengartikan, dia yakin ucapan Aldan waktu itu adalah ancaman halus untuknya.

       "Aku tidak pernah menyangka, seseorang yang terlihat begitu baik, ternyata hanyalah orang yang tak tahu malu. Kamu tahu! Aku mengenal seseorang dan merasa telah sangat mengenalnya, tapi ternyata dia adalah rubah yang menjijikkan." ungkap Aldan santai. Dia duduk dihadapan Putera sambil tersenyum simpul.

       "Apa maksudmu?" Putera yang tidak mengerti, mulai bersiaga.

       "Maksudku! Maksudku adalah, betapa bodohnya aku karena tidak menyadarinya. Jika saja aku bisa, mungkin di detik ini aku ingin menghancurkan seluruh kehidupannya, tapi aku masih bersabar. Hanya tunggu saatnya saja, dimana aku menghancurkan hidupnya." Aldan mengatakan itu dengan begitu ringan. Senyum simpulnya pun berubah sinis.

       "Sebenarnya siapa rubah yang kamu bicarakan itu?" Putera mulai curiga dan khawatir dengan ucapan Aldan.

       "Aku tahu kalau kamu pasti mengenalnya." ujar Aldan penuh arti. Putera sadar, kata-kata itu menuju ke dirinya. Aldan memang pintar membuat siapa pun terintimidasi, terlebih Putera yang notabene berada jauh dibawahnya.

                              ****

       Asya telah duduk dihadapan Aldan, tapi dia tak mengatakan apapun. "Apa aku terlambat?" tanya Asya hati-hati.

       Barulah setelah mendengar pertanyaan itu, Aldan mulai melirik Asya. Untuk sesaat, dia melihat jam tangannya dingin. "Sebenarnya hubungan apa yang ada diantara kalian?" Asya mengerutkan kening tak mengerti, "Hubungan apa?"

       "Kamu dan Putera! Apa yang sebenarnya kalian tutupi dari kami? Awalnya aku merasa kamu adalah gadis baik yang tegar, tapi ternyata aku terlalu berlebihan. Katakan saja! Apa kamu ingin merebut Putera dari Naila?" tuduh Aldan.

       Asya tersentak kaget mendengar tuduhan itu, hatinya sakit. Jika dia mau, mungkin sejak awal dia akan mengatakan kebenarannya, dan menuduh Naila telah merebut kekasihnya. Tapi, Asya memilih diam dan mencoba merelakan kenyataan yang ada. Asya pikir, dia harus realistis karena percuma saja berharap pada sesuatu yang sebenarnya akan menjadi masa lalu.

       "Jadi itu yang kamu pikirkan tentangku? Aku ingin merebut Putera dari Naila, begitu?" seru Asya kesal. "Aku tidak akan membela diri ataupun membantahnya, apalagi mengakui sesuatu hal yang tak pernah ingin aku lakukan." ungkap Asya jujur.

       "Kamu bersikap seperti gadis yang begitu baik, buktinya waktu itu kamu berbohong padaku dan menutupi pembicaraan kalian." ujar Aldan menekankan tuduhannya.

       "Iya, aku berbohong. Lalu kerugian apa yang kamu dapat darinya?" Asya mengatakan itu dengan sangat tegas. Dia akui kalau dirinya telah berbohong, tapi bukan berarti dia mengakui tuduhan tak berdasar yang sempat Aldan lontarkan.

       "Apa kamu ingin tahu alasannya? Alasan kenapa aku merasa terganggu," Aldan menatap Asya tepat ke balik matanya, "Ini semua karena kupikir aku mulai menyukaimu, dan kamu bisa menjadi pendamping hidup selamanya untukku. Aku mulai berharap banyak pada pertemuan-pertemuan yang kita lakukan. Aku mulai merasa mengenalmu, tapi saat ini kamu kembali terlihat asing di mataku."

       Asya cukup terkejut dengan pengakuan Aldan yang begitu mendadak. Dia tidak menyangka kalau Aldan berpikir seperti itu pada hubungan mereka. Sejak awal, Asya hanya menganggap Aldan sebagai teman yang baik. Dia bahkan tidak ingin berharap terlalu jauh lagi pada seseorang, termasuk Aldan.

       "Sya, katakan yang jujur padaku. Apa yang sebenarnya kalian tutupi?" kalimat Aldan mulai terdengar memohon.

       "Anggap saja, aku memang seperti itu. Tapi, kenyataan tidak akan pernah berubah. Kamu akan menyadarinya nanti." Asya berdiri dari duduknya dan berlalu pergi, bahkan sebelum pesanannya tiba.

                              ****

'Ini semua karena kupikir aku mulai menyukaimu, dan kamu bisa menjadi pendamping hidup selamanya untukku. Aku mulai berharap banyak pada pertemuan-pertemuan yang kita lakukan. Aku mulai merasa mengenalmu, tapi saat ini kamu kembali terlihat asing di mataku.'

       Setelah berkali - kali aku memejamkan mata, kalimat itu sulit sekali menghilang dari pikiranku. Aldan mengakui sesuatu yang seharusnya tak dia katakan, aku tidak mau goyah dari pendirianku hanya karena orang yang baru satu bulan kukenal. Aku akui dia cukup baik, tapi kupikir tidak mungkin seseorang akan mengatakan hal serius seperti itu padaku.

       Tuduhannya tidak bisa diterima begitupun pengakuannya. Bukan berarti aku tak suka kalau ada seseorang di luar sana yang menyukaiku, tapi masa lalu membuatku takut untuk percaya lagi. Aku tidak ingin kembali kecewa di kesempatan kedua.

       Sekarang Aldan sudah tahu, selanjutnya tinggal Naila. Aku tidak tahu, reaksi seperti apa yang akan Naila tunjukkan nanti. Mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama seperti Aldan, menuduhku yang bukan-bukan. Tapi kupikir, ini yang terbaik, berbohong terus menerus membuatku tertekan.

My ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang