Chapter 1 : Chocolate Milk

1.4K 148 1
                                    

Suara derap langkah kaki terdengar dari lantai dua. Ayah dan Ibu Ella saling menatap satu sama lain di meja makan kemudian menggeleng. Putri mereka sepertinya bangun kesiangan di hari pertamanya masuk sekolah. Dia sepertinya terlalu antusias untuk hari ini sampai semalam dia tidak bisa tidur. Karena hingga jam dua belas malam, ayah dan ibu Ella masih mendengar suara petikkan gitar klasik Ella di kamarnya. Ibunya semalam sudah mengingatkannya untuk tidur lebih awal. Tapi bukan Ella namanya jika gadis itu tidak antusias.

Gadis itu turun dari lantai dua dengan tergesa. Di satu pundaknya tersampir tali ransel berwarna biru jeans yang dibelikan oleh ibunya sebagai hadiah natal tahun lalu. Di pundaknya yang lain menggantung blazer sekolahnya yang berwarna hijau gelap. Rambut panjangnya melambai searah dengan gerakannya. Sebelah tangannya sibuk membenarkan letak rok di pinggangnya. Ujung baju seragamnya mencuat kemana-mana. Dasi yang terselip di bawah kerah bajunya masih belum terikat.

Senyum di wajah kedua orang tuanya perlahan lenyap. Gadis kesayangan mereka kini akan duduk di kursi SMA. Gadis yang dulu gemar memakan es krim setiap minggu dan selalu pulang dengan krim menempel di kedua sisi pipinya. Kini gadis itu sudah beranjak dewasa. Ibunya menarik napas ketika merasakan matanya berair. Ayahnya berdeham dan kembali memperhatikan koran di tangannya.

"Selamat pagi!" sapa Ella dengan penuh semangat. Dia berlari ke arah meja makan dan duduk di kursi kosong. Tangannya mengambil sepotong roti unyil yang kemarin mereka bawa dari kampung halaman. Dia memasukkan seluruh potongan roti itu ke dalam mulutnya. "Ahu hupa henyehel halarm..." gumamnya dengan mulut penuh roti. Kedua tangannya kini sibuk membuat simpul dasi.

"Ella, berhenti berbicara dengan mulut penuh makanan," ibunya mendengus. "Kamu sudah SMA hari ini. Bersikaplah lebih seperti anak SMA."

Ella mengunyah roti di mulutnya dengan cepat dan menelannya. "Aku akan selalu begini," ucapnya keras kepala. Dia mengambil sepotong roti lagi kemudian meneguk susu cokelatnya sampai habis. Matanya menengok ke arah jam dinding. "Aku harus pergi sekarang! Dah ayah dan ibu!"

Gadis itu menutup pintu rumah sebelum kedua orang tuanya sempat membalas. Ella memakai kaus kaki dan sepatunya di depan pintu. Dia memakai blazer-nya dengan tergesa. Tidak baik terlambat di hari pertamanya masuk sekolah. Kakinya berlari dengan cepat menuju halte bus sekolah. Ya. Sekolah yang ditempati oleh Ella memiliki rute halte bus sendiri. Kebetulan sekali halte bus sekolah itu sangat dekat dengan rumahnya.

Ella terengah-engah ketika dia berhasil masuk ke dalam bus dengan selamat. Syukurlah dia tidak terlambat di hari pertamanya. Bus ini hanya akan datang dua kali setiap pagi. Jika dia terlambat, maka dia harus kembali ke rumah dan meminta ayahnya untuk mengantarkannya. Itu akan membuatnya semakin terlambat. Ella berdiri dan melihat semua kursi di bus sudah penuh. Tangannya meraih pegangan yang tergantung di besi dengan sebelah tangan yang sibuk merapikan rambutnya.

"Hei."

Ella mendongak ketika mendengar suara seseorang berdiri di sampingnya. Seorang laki-laki berdiri di sebelahnya dengan sebelah tangan berpegangan pada besi. Wajahnya yang sebelumnya terlihat datar kini perlahan berubah ketika dia melihat wajah gadis itu. Ella kini melihat laki-laki itu menahan tawa geli ketika melihat wajah Ella. Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas memperhatikan wajah Ella.

Baiklah. Ira dan Jo memang benar.

Mereka bilang kalau di Jakarta banyak laki-laki tampan dan tinggi. Laki-laki di sebelah Ella adalah salah satunya. Ira dan Jo juga bilang kalau laki-laki tampan dan tinggi itu biasanya tampak sedikit nakal. Mereka benar lagi karena laki-laki ini tidak memakai atribut lengkap sekolahnya. Dia hanya mengenakan baju seragam yang ujungnya sama sekali tidak dimasukkan ke dalam celana dan celana abu-abu gelap khas sekolah mereka.

Fearless (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang