D-4

224 40 135
                                    

Niki menatap papan tulis di depan kelasnya dengan pandangan kosong. Meski papan tulis itu penuh angka-angka dan rumus Matematika, otaknya tidak bisa mencerna apapun. Kepalanya terasa berat. Niki mengernyitkan dahinya, berusaha berkonsentrasi menangkap apapun itu yang sedang diterangkan Mr. Ardi, tapi tetap saja sulit. Akhirnya Niki menyerah, dan menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Kiran yang duduk di sebelahnya melirik sekilas. Dia nggak berani lama-lama mengalihkan pandangan dari papan tulis, takut ketinggalan penjelasan Mr. Ardi yang melesat cepat. Satu bab pelajaran bisa abis sama dia cuma dalam waktu satu jam. Kadang-kadang ada kuis kecil pula habis itu.

"Kenapa lo?" bisik Kiran, sikunya menyenggol siku Niki pelan. Yang disenggol cuma bergumam tidak jelas. Kiran tidak bertanya lebih lanjut karena tiba-tiba suara horor Mr. Ardi membelah suasana kelas yang hening.

"...halaman 145-150, dikerjakan di selembar folio dengan format seperti biasanya. Senin depan kumpulkan di meja saya. Kumpulkan sendiri-sendiri." Mr. Ardi menumpuk semua bukunya dan berjalan keluar kelas. Bel istirahat berbunyi, membuat seisi kelas langsung bubar dan dalam sekejap kelas nyaris kosong.

"UGH!" Kiran menendang mejanya kesal. "Itu guru nggak tau apa ya, kita mau nonton konser hari Minggunya? Ngapain pake ngasih pe-er banyak banget gini sih?!"

Suasana kelas yang sepi membuat suara Kiran terdengar dua kali lebih keras. Hampir semua murid ada di luar. Tinggal Kiran dan Niki, serta dua-tiga murid lain yang entah ngapain di pojokan kelas.

Niki mengangkat wajahnya dari meja, menghela napas panjang. "Emang dia nggak tau, kali. Dan nggak peduli juga pasti. Kecuali kalo dia Melodude."

Kiran terdiam sejenak mendengar ucapan Niki. Sejurus kemudian, ia meringis.

"Ya ampun. Nggak bisa bayangin gue Mr. Ardi ikutan fanchant."

Niki cengengesan. Ia menguap dan meregangkan badannya. "Tapi siapa tahu lho, Ran. Gue sih agak berharap dia nonton konser juga. Biar ntar fanchant bareng, sambil ngangkat-ngangkat lightstick. Terus kita dikasih keringanan gitu, nggak usah ngumpulin tugas."

"Yeee, ngayal!" Kiran menyodok pinggang Niki lumayan keras dengan sikunya. "Yang ada ntar sambil nonton konser bukannya fanchant malah neriakkin kuis dadakan. Udah ah, gue mau ke kantin nih. Laper berat, kangen baso mang Asep. Ikut nggak lo?"

"Nggak. Gue kenyang makan rumus," Niki menggelengkan kepalanya. Kiran hanya mengangguk dan keluar kelas, meninggalkan Niki sendirian.

Niki kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja. Kepalanya berputar terus rasanya, entah karena apa. Ia memutuskan menggunakan waktu istirahatnya untuk tidur siang sejenak. Lumayan, mengistirahatkan otak sebelum masuk ke pelajaran eksakta lain setelah ini, Fisika.

"Nik?"

Niki refleks mengerang ketika mendengar ada yang memanggil namanya, persis ketika dirinya hampir tertidur. Dengan ogah-ogahan ia mendongak, matanya masih separo terpejam.

"Cepet banget lo makannyaaa, basonya nggak dikunyah ya—eh, Farrel?"

Niki buru-buru duduk tegak ketika dilihatnya Farrell sedang berdiri di samping mejanya. Cowok blasteran Indo-Amrik itu mengerutkan dahinya sambil menatap Niki.

"Siapa yang makan baso nggak dikunyah?" tanyanya, membuat wajah Niki bersemu merah, malu.

"Eh, nggak. Itu, si Kiran. Dia tadi kangen mang Asep katanya. Eh, kangen basonya," jawab Niki cepat-cepat, kata-katanya saling berkejaran. Ia menghela napas sejenak. "Tadi kukira kamu Kiran."

Farrel tersenyum geli. Ia menarik kursi di dekatnya dan duduk di samping Niki. Tiba-tiba tangannya menyentuh dahi Niki, membuat wajah Niki makin tidak karuan. Farrel berkonsentrasi sejenak, ia memiringkan kepalanya, menatap Niki dalam.

D-Day! ✔Where stories live. Discover now