Kita, Sema

29 4 5
                                    

Bau rumah sakit yang saya benci harus saya rasakan setelah bertahun-tahun lamanya tidak kemari. Sudah dua hari Sema dirawat, tapi saya belum menemuinya di kamar pasien. Saya hanya menunggunya di luar kamar. Disalami orang-orang yang selesai menjenguk Sema. Bagaimana ya, ada rasa yang begitu canggung untuk bertemu dengan Sema. "Ngobrol berdua sana di dalam." Ibu Sema menghampiri saya sesaat ketika semua teman pulang setelah menjenguk Sema. Saya sudah mendengar kejadian sebenarnya dari Ibu Sema. Mungkin itu yang membuat saya canggung.

....................

Tak seharusnya kita terpisah
Tak semestinya kita bertengkar
Karna diriku masih butuh kau
Maafkanlah sikapku
Lupakanlah salahku, itu

Terlalu bodoh untuk diriku
Menahan berat jutaan rindu
Apalagi menahan egoku
Maafkanlah sikapku
Lupakanlah salahku
Luapkan kepadaku

Takkan kubiarkan kau menangis
Takkan kubiarkan kau terkikis
Terluka perasaan oleh semua ucapanku
Maafkanlah semua sifat kasarku
Bukan maksud untuk melukaimu
Aku hanyalah orang yang penuh rasa cemburu
Bila kau tak di sampingku

Terdengar suara pengamen menyanyikan lagu tersebut di kantin rumah sakit. Sedang menyindir saya kah dia? Eh, mengapa saya malah memperhatikan liriknya? Apa saya merasa itu benar? Bahwa saya seharusnya tidak membuat dia menangis. Kalau begitu, saya cemburu? Ah, tunggu dulu. Saya menyakiti Sema? Jika begitu, saya menelan ludah sendiri bahwa saya tidak akan menyakitinya. Seharusnya saya ada di sana untuk dia, bukannya menjauhi seperti anak kecil. Benar, saya harus di sana. Kami harus bicara.

"Kirun," Sema keluar dari ruangannya dengan dituntun Bunda. Dia melihat saya yang berlari menuju ruangannya. Saya melihatnya. Luka lebamnya sudah mulai menghilang. Luka-luka yang lain sudah mulai mengering. Saya senang sekaligus sedih, Sema seharusnya tidak merasakan ini.

"Saya....mau....bicara...sama...ka-kamu." Dengan gagap saya berbicara. Bunda perlahan meninggalkan kami berdua. Benar-benar, Yuyun sayang Bunda. "Duduk dulu." Saya mempersilahkan dia duduk.

"Saya minta ma—"

"Saya minta maaf." Dengan cepat saya berbicara sambil menggerakan dengan cepat kaki saya. Kami diam, tidak ada kata. Sema melihat kaki saya yang terus bergetar mengganggu. Perlahan saya sadar dan mulai menghentikannya. "Seharusnya kamu tidak terluka seperti ini. Seharusnya saya ada di sana untuk kamu. Seharusnya waktu itu saya mengantarmu pulang dulu. Seharusnya—"

"Seharusnya aku milik kamu." Saya menatapnya. "Saya suk—"

"Saya suka sama kamu." Entah, obrolan macam apa ini. Kami saling memotong pembicaraan masing-masing. Tapi, saya tidak mau Sema yang mengungkapkan duluan. Saya lelaki. Itu tugas saya. "Saya sayang sama kamu." Lanjut saya dengan tatapan pasti. Coba kalian pegang dada saya. Pasti akan merambat juga getarannya ketangan kalian.

Dia tidak menjawab saya. Sema memeluk saya. Saya kaget, tapi saya senang. Saya tersenyum kecil sembari membalas pelukannya. Mungkin, disini kita bermula. Kita, Sema. Saya dan kamu.





Baru kali ini saya merasakan semangat di hari Senin. Walaupun saya tahu, topi dan dasi saya hilang di upacara hari pertama kami di kelas 11. Tak apa, Sema juga kehilangan topi dan dasi. Hahaha, kami dihukum bersama membersihkan rumput dan baru dibolehkan masuk ke kelas setelah jam pelajaran kedua dimulai.

"Saya gak mau masuk kelas ah!" Kami berjalan untuk mengambil tas setelah dihukum.

"Loh, kenapa? Kamu mau cabut?"

"Kantin aja yuk! Bentar saya telpon Aan dulu." Dia mulai merogok tas mencari handphone-nya.

"Ngapain kamu telpon dia?" Saya menahan handphone yang baru dia keluarkan ditangannya.

"Suruh ke kantin juga." Dengan polos dia menjawab.

"Enggak, jangan dia. Dinda aja kamu telpon." Mohon, Sema. Peka terhadap sekitar itu kebutuhan kamu sekarang.

"Oh, kamu tuh cemburu ya?" Dia menyenggol pundak saya dengan pundaknya. Terima kasih, itu maksud saya.

"Enggak, saya gak cemburu." Saya mempercepat jalan saya. Sambil senyum-senyum kecil saya berjalan menuju kantin di belakang.

"Tungguin saya." Dia mengejar ketinggalannya. "Cie kamu cemburu. Cie! Hahaha, muka kamu lucu kalo lagi cemburu gini. Hahaha, kamu cemburu. Hahaha." Sema tertawa. Tak ada habisnya dia menggoda saya. Saya tak tahan dengan godaan dia. Saya rangkul dia dengan tangan kiri dan menutup mulutnya dengan lembut menggunakan tangan kanan. Sema berisik. Getaran ketawanya terasa ditangan saya. Hahaha, saya suka kita seperti ini.



Sema, kalau ahli BMKG bilang besok hujan. Saya akan hujan-hujanan bersama kamu. Tenang, Sema. Cinta saya tidak akan luntur jika hanya hujan yang beribu-ribu kali menghujani bumi, menghujani kita.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 15, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SAMA SEMAWhere stories live. Discover now