17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ

Start from the beginning
                                    

Jimin rindu—rindu sekali.

Ketika foto tersebut usai dilihatnya, Jimin beralih menuju riwayat pesan yang pernah diterima. Tampak hanya ada satu nama yang tertera, dan itu adalah Anha.

Hari ini aku pulang terlambat. Tolong tutup jendela dan hidupkan lampu, ya.

Bagaimana kalau menu makan malam kali ini ayam bakar? Beritahu aku kalau kau setuju. Aku akan mampir ke restorannya setelah pulang bekerja.

Tolong kenakan jaket yang kubeli beberapa hari yang lalu. Akhir-akhir ini cuaca sering berubah.

Tanpa sadar, Jimin menahan napas tatkala irisnya bergerak pelan membaca satu per satu padanan kata yang tertera. Hatinya nyeri dan kelopak matanya kembali memanas. Jantung Jimin seperti diremas dan ditaburi puluhan kilo garam laut. Pedih.

Jimin meletakkan ponsel tersebut ke atas nakas, membiarkan tubuhnya kembali berbaring sembari menatap kosong ke arah langit-langit. Rasa kantuk benar-benar lesap, tak bersisa barang sedikit pun. Menghela napas pendek sembari jemarinya menepis likuid bening yang sempat turun di salah satu pipi, Jimin mendadak dikejutkan dengan dering lagu beserta getar yang diciptakan ponsel metalik miliknya.

Jung Anha.

Jimin beringsut, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga dada (Jimin sendiri tidak tahu kenapa dia seperti ini, mungkin hanya gerakan refleks) lalu meraih benda pipih tersebut tanpa ada satu pun niat untuk mengangkatnya. Jimin membiarkan panggilan itu hingga berakhir dengan sendirinya.

Pikir Jimin Anha mungkin tidak sengaja memanggilnya. Akan tetapi, ponsel itu kembali berdering, masih dengan penelpon yang sama. Jimin terdiam untuk sesaat, dan nyaris goyah untuk mengangkat panggilan tersebut. Tidak, tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Kalimat itu menggema di dalam hati, semerta-merta sebabkan Jimin mengurungkan niatnya.

Entah kali ke berapa Anha coba memanggilnya, Jimin memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. Dia sempat meragu, merenung mengenai imbas yang barangkali akan terjadi setelahnya. Tetapi, peduli setan. Jimin ingin mendengar suara Anha, kali ini saja. Dan pada akhirnya, dia benar-benar menggerakan jemari untuk menggeser tombol hijau yang sesekali berkedip.

Beberapa detik panggilan tersebut terhubung, nyatanya belum ada satu patah kata pun yang terlontar dari seberang sana. Hanya ada deru napas yang memburu, dan isak tangis kecil yang sambangi rungu. Jimin pikir Anha mungkin tidak sadar kalau teleponnya sudah tersambung. Pun, karena tidak sabar, Jimin memberanikan diri untuk berkata lebih dulu, "Hallo?"

Sosok di seberang sana tampak menjerit kaget, lalu lekas membalas begitu menggebu-gebu, "Jimin?! Jimin kau di mana? Katakan padaku sekarang juga! Jimin!"

Yang dipanggil namanya hanya terdiam.

"Jimin tolong jawab aku. Kumohon."

Mengalihkan pandangan karena tak sanggup mendengar nada yang terselip di tiap kata yang mencuat, Jimin menelan liurnya dengan getir. Ponsel tersebut dijauhkan dari telinga dan jemarinya bersiap mengakhiri panggilan secara sepihak. Namun sebelum itu, Jimin sempat berkata, "Maaf, An," yang mana langsung disahut dengan teriakan memilukan.

"PARK JIMIN!"

Bip ...

Panggilan terputus. Jimin bergegas mematikan ponsel. Melepas baterai dan menyimpannya di dalam nakas, pemuda tersebut lekas menenggelamkan diri di balik selimut dan membiarkan dadanya diserang nyeri yang dua kali lipat lebih menyakitkan. Fakta bahwa Anha masih menaruh peduli terhadapnya, benar-benar membuat Jimin dirundung oleh banyak rasa bersalah. Wanita itu pasti mengkhawatirkannya. Wanita itu ...

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now